TRIBUNHEALTH.COM - Inner child menggambarkan sifat dan sikap kekanak-kanakan yang mungkin dimiliki oleh setiap orang.
Artinya kekanak-kanakan ini tetap ada di dalam diri seseorang meskipun ia tumbuh menjadi orang dewasa.
Inner child ini memegang setiap ingatan dan emosi yang pernah terjadi di masa kecil, baik ingatan yang indah ataupun yang buruk.
Ketika yang dimiliki adalah ingatan yang indah akan baik untuk masa pertumbuhan seseorang.
Namun jika inner child yang dimiliki adalah inner child yang terluka, kondisi ini dapat mempengaruhi kondisi mental ketika sudah dewasa.
Baca juga: Travelling Bagus untuk Kesehatan Mental, Dapat Menumbuhkan Perasaan Bahagia

Baca juga: Jangan Abaikan Peran Penting Keluarga Terhadap Pengaruh Kesehatan Mental
Dilansir TribunHealth.com, dr. Karina Ansheila, M.Kes memberikan penjelasan dalam tayangan YouTube Tribun Manado Official.
dr. Karina Ansheila, M.Kes menuturkan, baru-baru ini inner child yang terluka sedang banyak dibicarakan.
Inner child yang terluka adalah kepahitan-kepahitan yang terjadi saat masih anak-anak dan secara tidak sadar terbawa sampai dewasa.
Kondisi inner child yang terluka ini dapat berangsur menjadi lebih parah ketika kepahitan yang dialami tersebut tidak diputus rantainya.
Menurut dr. Karina Ansheila, M.Kes, inner child yang terluka dapat memicu munculnya perilaku toxic yang terjadi di masa lalu, kemudian terulang kembali dan terjadi di masa sekarang.
Kondisi ini dapat berlangsung dan terjadi dari generasi ke generasi.
Baca juga: Mengenal Stigma Kesehatan Mental dan Dampaknya Bersama dr. Karina Ansheila, M.Kes

Baca juga: Terlalu Banyak Bersedih Apakah Termasuk Gangguan Mental? Begini Jawaban dr. Karina Ansheila, M.Kes
"Perilaku ini biasanya karena adanya trauma-trauma di masa lalu."
"Misalnya ketika kita kecil kita merasa tidak dihargai."
"Kita mendapatkan kekerasan baik verbal ataupun fisik."
"Sebagai anak yang tidak berdaya di masa itu, seorang anak hanya bisa menangis, memendam, dan tidak bisa membalas."
"Kepahitan yang seperti itulah yang dibawa sampai dewasa yang akhirnya ketika kita menjadi orangtua, perilaku toxic di masa kecil itu terulang kembali."
"Yang akhirnya kita juga menjadi orangtua yang toxic untuk anak kita," jelas dr. Karina.
Baca juga: 6 Manfaat Travelling untuk Kesehatan Mental, Bisa Memicu Perasaan Tenang dan Bahagia

Baca juga: Adib Setiawan S.Psi Sebut Trust Issue ialah Kondisi Traumatic yang bisa Menyebabkan Penyakit Mental
Untuk menghindari hal-hal toxic di masa lalu terulang kembali di masa kini, dr. Karina Ansheila, M.Kes menegaskan pentingnya untuk memutus rantai kepahitan yang pernah dialami di masa lalu.
Memutuskan rantai kepahitan tersebut dapat dilakukan dengan menerima dan mengakui bahwa kepahitan pernah terjadi pada diri kita.
Ketika seseorang mampu menerima kepahitan-kepahitan yang ada, ia akan berusaha untuk sembuh dan mencari bantuan untuk kesembuhan tersebut.
Bantuan tersebut berguna untuk proses healing atau menyembuhkan diri sendiri.
Baca juga: Adib Setiawan, S.Psi., M.Psi Sebut Skizofrenia adalah Gangguan Mental yang Paling Kronis

Baca juga: Tidak Sama, Ini Beda Gangguan Mental dan Kepribadian Menurut dr. Yanne Cholida, ACp, CHt, CI, CET
Dengan penyembuhan diri tersebut diharapkan di masa kini kita dapat memperlakukan anak dengan baik dan menghindari perilaku toxic yang sudah ada.
"Kita sudah berdamai dengan diri kita sendiri, kita sudah memaafkan kejadian masa lalu, sehingga kita bisa lebih baik lagi."
"Karena kalau kepahitan-kepahitan tersebut diteruskan, kondisi ini akan terjadi secara terus-menerus dan tidak ada ujungnya."
"Jadi kembali lagi ke diri kita sendiri, pilihan untuk menolong itu harus ada di daalam diri kita sendiri," tegas dr. Karina.
Baca juga: Begini Cara Membangun Mental Pengidap Bipolar Agar Tidak Mudah Kambuh, Simak Ulasan Adib Setiawan
Penjelasan tersebut disampaikan oleh dr. Karina Ansheila, M.Kes dalam tayangan YouTube Tribun Manado Official pada 4 Februari 2022.
Baca berita lain seputar kesehatan di sini
(Tribunhealth.com/IR)