TRIBUNHEALTH.COM - Alergi bisa terjadi karena berbagai faktor pencetus.
Mulai dari makanan, cuaca, maupun dari sesuatu yang kontak dengan kulit.
Selain di atas, salah satu kondisi alergi bisa terjadi pada saluran napas.
Baca juga: Anak Bersin ketika Dekat dengan Kucing Belum Tentu Alergi, Simak Penjelasan Dokter Berikut
dr. Roro Rukmi Windi Perdani, Sp. A menyebut alergi pada saluran napas memiliki tingkat derajat keparahan. Mulai dari ringan, sedang, hingga berat.
Bila demikian, bagaimana cara mengatasinya?

Dilansir Tribunhealth.com dari tayangan YouTube Tribun Lampung News Video, Roro memberikan penjelasannya.
Penanganan alergi pada saluran napas disesuaikan dengan gejala yang dialami.
Baca juga: Benarkah Sakit Tenggorokan Terjadi Akibat Reaksi Alergi Dijalur Menelan? Begini Ulsan dr. Hemastia
Dalam hal ini bila pasien menderita Rhinitis alergi, maka dokter akan memberikan obat-obatan Antihistamin.
Sementara jika Asma yang menyebabkan penyempitan pada saluran napas, maka akan diberikan Bronkodilator dan Antiinflamasi.

Bronkodilator diberikan untuk melebarkan saluran napas pada bronkus.
Selanjutnya penting juga untuk memantau kadar oksigen dengan Oksimetri.
Baca juga: dr. M. Syah Abdaly, Sp.PD Sarankan Sering Mengukur Saturasi Oksigen Saat Jalankan Isolasi Mandiri
Kadar oksigen normal yaitu 96 sampai 100.
Jika terjadi penurunan kadar oksigen, maka pasien bisa segera diberikan oksigen.

"Oksigen itu juga terapi," imbuh Roro.
Pengobatan saluran napas lebih efektif jika berjenis Topikal.
Jadi bukan jenis obat yang diminum, melainkan langsung mengenai saluran napas.
Baca juga: Pengobatan Masalah Tulang Belakang pada Setiap Orang Berbeda, Ini Penjelasan Dokter Rehab Medis
Alat tersebut umum dikenal dengan sebutan Nebulisasi.
"Kita bisa kasih Bronkodilator tadi dengan cara dihirup."
"Mungkin kalau biasa orang dengar dinebu," sambungnya.
Masalah Alergi pada Saluran Napas
Rhinitis alergi termasuk pada derajat gejala yang ringan.
Sementara alergi pada saluran napas tipe berat, ditandai dengan sesak napas akibat ada penyempitan pada saluran napas.

Penyempitan pada saluran napas ini disebabkan oleh banyaknya produksi lendir dari saluran napas bagian mukosa. Lalu mengakibatkan penebalan.
Mukosa adalah dinding dalam saluran napas.
Baca juga: Tips dr. Sylvana Evawani, Sp.KJ untuk Atasi Kecemasan Berlebih, Atur Napas dan Lakukan Relaksasi
"Pada mukosa ini terdapat sel-sel yang memproduksi lendir dan kondisinya semakin tebal."
"Ibarat kita selang air, dinding dalamnya menebal otomatis salurannya mengecil," papar Roro.
Akhirnya udara bisa masuk pada saluran napas, tetapi tidak bisa keluar.

Lalu terjadi pertukaran karbondioksida yang tidak lagi dibutuhkan oleh tubuh.
Bila penderita mengalami serangan berat, maka akan dianjurkan untuk memasuki ruangan PICU (Pediatric Intensive Care Unit).
Baca juga: Sesak Nafas Tidak Tergolong Berbahaya, Namun Tidak Boleh Dianggap Masalah Sepele
"Makanya salah satu manifestasi alergi pada saluran napas adalah Asma."
"Derajat asma bisa bervariasi, mulai dari ringan, sedang dan berat," terang Roro.
Tanda Alergi
Sejumlah tanda alergi yang bisa dikenali.
Antara lain:
- Sulit buang air besar (konstipasi)
- Diare

- Muntah
- BAB disertai darah
- Merah-merah di kulit atau eritema
Baca juga: Memiliki Gejala yang Mirip, Begini Penjelasan dr. Roro Rukmi Mengenai Perbedaan Muntaber dan Diare
- Pilek tapi bukan karena infeksi (Rinitis)
- Asma
- Batuk
- Hipersekresi
Berbagai tanda di atas bisa disebabkan oleh berbagai pencetus alergi (alergen).

Alergen atau benda yang menyebabkan alergi, itu bisa berupa:
- Inhalat (sesuatu yang dihirup), misalnya: debu, tungau, serbuk sari tanaman.
- Ingasiant (sesuatu yang tertelan), misalnya: protein yang ada di dalam makanan tertentu.
Baca juga: Seorang Ibu Alergi terhadap Gen Anaknya Sendiri, Kulit Kemerahan dan Melepuh setelah Melahirkan
- Sesuatu yang kontak dengan kulit atau mukosa di dalam tubuh.
Menentukan Penyebab Alergi
Berdasarkan penuturan Roro, langkah utama dalam mengatasi alergi yang tidak diketahui penyebabnya adalah melakukan prinsip penghindaran sementara waktu.
Bisa dilakukan dengan menghindari hal-hal yang dicurigai menyebabkan alergi.
"Misalnya setelah makan telur, muncul merah-merah di sekitar mulut atau gatal. Kita curigai alergi terhadap protein di dalam telur itu."
"Artinya untuk memastikan kecurigaan tersebut, kita coba dulu menghindari makan telur," terang Roro.

Penghindaran ini bisa dilakukan selama kurun waktu 2 hingga 4 minggu.
Jika ditemukan perbaikan setelah penghindaran, kemungkinan besar hal tersebut adalah faktor pencetus yang menyebabkan alergi.
Karena alergi akan muncul jika ada paparan.
Baca juga: Telur Punya Kandungan B4 yang Baik untuk Kesehatan, dr. Tan Shot Yen: Dibutuhkan oleh Otot dan Otak
Dengan demikian, bila paparan tersebut dihindari seharusnya alergi tidak muncul.
Selanjutnya, jika telah mengalami perbaikan dan tidak muncul respon alergi, maka bisa mencoba lagi untuk mendekati faktor yang dicurigai sebagai pencetus alergi tersebut.
Upaya ini disebut dengan Challenge.
Bila dicontohkan di atas, pencetus alergi adalah protein di dalam telur, maka bisa kembali lagi mengonsumsi telur tersebut.

Bila setelah mengonsumsi kembali, timbul gejala alergi yang sama seperti sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa pencetus alergi adalah protein di dalam telur tersebut.
Kendati demikian, jangan pernah melakukan Challenge ini jika manifestasi yang dialami berat.
Jika manifestasinya berat, maka bisa berisiko mengancam nyawa. Misalnya Anafilaksis atau syok.
Baca juga: Meski Punya Kandungan Protein Bagus, dr. Tan Shot Yen Ingatkan Ada Bahaya Konsumsi Telur Berlebihan
"Tidak disarankan untuk dicoba lagi, jika manifestasinya adalah syok anafilaktik. Karena bisa menyebabkan kematian" imbuh Roro.
Selanjutnya, meskipun manifestasi yang dialami ringan dan sedang, sebaiknya Challenge dicoba kembali di bawah pengawasan dokter.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi respon yang berat.
Karena jika pada awalnya manifestasi ringan, bisa saja respon selanjutnya menimbulkan manifestasi sedang hingga berat.

Bahkan bisa juga, jika awalnya belum muncul manifestasi alergi, bisa timbul kembali pada waktu berikutnya.
"Misalnya pertama kali makan udang nggak papa, eh makan udang kedua, ketiga, keempat muncul."
"Sebenarnya nggak papa itu karena belum muncul manifestasi, tetapi respon imun di dalam tubuh sebenarnya sudah ada," jelas Roro.
Baca juga: Tak Perlu Konsumsi Produk Suplemen, Konsumsi Makanan Sehat Cukup Meningkatkan Imunitas
Sehingga jika kita menerima protein yang sama, dalam hal ini adalah protein udang, akhirnya muncul lagi respon alergi.
Ketika respon tersebut sudah banyak dan memuncak, barulah bermanifestasi.
"Jadi kalau kita mau coba lagi hati-hati, karena yang tadinya ringan bisa aja nanti jadi berat," pesan Roro.
Penjelasan dr. Roro Rukmi Windi Perdani, Sp. A ini dilansir Tribunhealth.com dari tayangan YouTube Tribun Lampung News Video(3/2/2021)
(Tribunhealth.com/Ranum Kumala Dewi)