TRIBUNHEALTH.COM - Mobilitas mahasiswa di Indonesia, khususnya dalam tradisi merantau, sering kali dianggap sebagai fase penting dalam pengembangan diri dan kemandirian.
Namun, di balik semangat kemandirian tersebut, terdapat bayangan yang mengintai: Kesepian (Loneliness).
Kesepian bukan sekadar perasaan sedih sesaat, melainkan krisis kesehatan masyarakat global.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menetapkannya sebagai ancaman mendesak yang memiliki dampak fatal.
Menurut beberapa penelitian, kesepian dapat membawa banyak dampak negatif, seperti menurunnya kepuasan hidup (Salimi, 2011), gejala depresi hingga pemikiran untuk bunuh diri (Chang et al., 2017).
Di Indonesia, masalah ini semakin nyata. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Juni 2025 menunjukkan bahwa sekitar satu dari lima orang Indonesia (19,97 persen) merasa kesepian setidaknya sekali dalam sepekan.
Survei terhadap 512 responden di 38 provinsi ini juga menemukan bahwa sepertiga responden mengalami kesepian hampir setiap hari.
Baca juga: 7 Buah yang Dapat Meningkatkan Asupan Magnesium, Dukung Fungsi Saraf dan Kesehatan Tulang
Temuan tersebut sejalan dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada periode yang sama, yang mencatat prevalensi kesepian di Asia Tenggara sebesar 18,3 persen.
Angka ini menegaskan bahwa tingkat kesepian masyarakat Indonesia serupa dengan rata-rata regional, menunjukkan bahwa kesepian telah menjadi isu sosial dan psikologis yang perlu mendapat perhatian serius.
Kesepian ini sangat berkaitan dengan adanya kelekatan, yang menegaskan bahwa pola hubungan yang terbentuk pada masa kanak-kanak akan terinternalisasi dan memengaruhi cara individu berinteraksi, mencari dukungan, dan mengelola emosi dalam berhubungan dewasa.
Bagi mahasiswa perantau, pola ini menjadi penentu utama seberapa baik mereka mengatasi kesepian.
Pada gaya kelekatan, terdapat tipe gaya kelekatan insecure atau tidak aman.
Hal ini juga menjadi penyebab tingginya tingkat kesepian. Gaya kelekatan tidak aman ini terdiri dari :
- Cemas-Ambivalen (Preoccupied): Individu cenderung cemas akan penolakan dan memiliki kebutuhan afeksi yang tinggi, namun tidak yakin akan ketersediaan orang lain. Gaya ini merupakan prediktor terkuat kesepian emosional
- Menghindar-Menolak (Dismissing): Individu meremehkan pentingnya kedekatan, sangat mandiri, dan cenderung menghindari keintiman.
- Takut-Menghindar (Fearful): Gabungan dari rasa ingin dekat tetapi takut ditolak.
Studi spesifik pada mahasiswa perantau di Makassar menunjukkan bahwa kelekatan Aman (Secure Attachment) tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kesepian, sementara ketiga gaya insecure (Preoccupied, Dismissing, dan Fearful) justru berpengaruh signifikan dalam meningkatkan kesepian (Ummah & Murdiana, 2024).
Hal ini berarti, mereka yang membawa 'bekal' kelekatan yang aman cenderung sudah terlindungi, sedangkan fokus intervensi harus ditujukan pada mereka dengan gaya kelekatan yang bermasalah.
II. Resiliensi: Kunci Adaptasi di Tengah Keterasingan
Jika Kesepian adalah hasil dari ketidaksesuaian antara keinginan akan hubungan dan realita hubungan, maka Resiliensi adalah sumber daya internal yang memungkinkan individu menutup kesenjangan tersebut.
Resiliensi, sebagai kemampuan untuk bangkit dan beradaptasi secara positif dari kesulitan, berperan sebagai strategi koping utama bagi mahasiswa perantau.
Resiliensi sebagai Pelindung
Penelitian telah mengonfirmasi bahwa Resiliensi memiliki hubungan yang signifikan dan terbalik (negatif) dengan kesepian (Pakdaman et al., 2016).
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat resiliensi seseorang, semakin rendah risiko ia mengalami kesepian.
Hal ini menjadi semakin penting di tengah kondisi krisis.
Dalam studi mengenai mahasiswa di Kota Bandung selama masa Pandemi COVID-19 (periode yang memaksa isolasi sosial), ditemukan bahwa Resiliensi dan Kelekatan sama-sama berpengaruh signifikan terhadap Kesepian (Nugraha, 2020).
Resiliensi memungkinkan mahasiswa mengaktifkan keterampilan koping untuk mengelola keterbatasan interaksi sosial dan ketidakpastian akademik.
Adaptasi Resilien yang Dibutuhkan
Novelti penelitian terkini bergeser dari sekadar mengukur pengaruh, menjadi mengidentifikasi jenis adaptasi resilien yang spesifik dibutuhkan oleh mahasiswa dengan kelekatan tidak aman.
Resiliensi bukan hanya kemampuan umum, melainkan terdiri dari dimensi-dimensi seperti regulasi emosi, optimisme, self-efficacy, dan kontrol impuls.
- Mahasiswa perantau dengan gaya kelekatan insecure perlu mengembangkan:
Regulasi Emosi yang Sehat: Agar tidak terjebak dalam kecemasan atau penarikan diri yang berlebihan saat menghadapi penolakan atau konflik. - Optimisme dan Self-Efficacy: Keyakinan bahwa mereka mampu membentuk koneksi baru dan mengendalikan lingkungan sosial di tempat perantauan.
Baca juga: Apakah Serangan Jantung Saat Olahraga Bisa Terjadi pada Pemula & yang Udah Berpengalaman?
III. Implikasi Praktis dan Edukasi Masyarakat
Penelitian ini membawa pesan penting bagi berbagai pihak, terutama dalam upaya menanggulangi epidemi kesepian:
1. Penguatan Diri Mahasiswa: Mahasiswa perantau perlu diberi kesadaran bahwa Kesepian adalah tantangan yang dapat diatasi. Kunci penyelesaiannya adalah dengan fokus melatih keterampilan Resiliensi (strategi koping) secara spesifik, bukan hanya menunggu koneksi sosial datang.
2. Peran Institusi Pendidikan: Universitas harus merancang intervensi yang menargetkan akar masalah:
- Asesmen Awal: Melakukan asesmen gaya kelekatan dan tingkat resiliensi pada mahasiswa baru perantau.
- Program Terstruktur: Menyediakan program mentoring atau kelompok dukungan yang secara eksplisit melatih dimensi resiliensi yang terbukti efektif (misalnya, peer support group untuk melatih keterbukaan emosi bagi gaya dismissing).
3. Edukasi Masyarakat dan Keluarga: Penting untuk mengedukasi masyarakat luas bahwa Kelekatan adalah fondasi psikologis. Pola pengasuhan yang aman (secure) dapat meminimalkan kerentanan kesepian di masa dewasa, sehingga resiliensi yang dibutuhkan tidak terlalu besar.
Kesimpulannya, perjalanan merantau adalah ujian adaptasi.
Dengan memahami bahwa Kesepian dipengaruhi oleh kombinasi predisposisi (attachment) dan kemampuan bertahan (resilience), kita dapat menciptakan intervensi yang lebih cerdas dan suportif, mengubah tantangan Kesepian menjadi peluang untuk pertumbuhan psikologis yang kokoh.
Oleh: Willy Talita (Mahasiswa Program Studi Magister Psikologi Soegijapranata Catholic University)
(Tribunhealth.com)