TRIBUNHEALTH.COM - Epilepsi adalah gangguan kesehatan yang menyerang sistem saraf pusat.
Akibat pola aktivitas listrik yang abnormal.
Gangguan kesehatan ini dapat terjadi pada siapapun dan kerap terjadi berulang, seperti dikutip oleh Tribunhealth.com dalam tayangan KOMPASTV program Ayo Sehat, edisi 02 Mei 2021.
Baca juga: Apa yang Menyebabkan Bayi Baru Lahir Sudah Memiliki Gigi, Dok?
Baca juga: Dok, Apakah Benar Jika Memanaskan Sayur Dapat Mematikan Kandungan Vitamin Di Dalamnya?
Biasanya epilepsi bermula sejak usia anak-anak.
Ada beberapa gejala khas pada penderita epilepsi, antara lain:

1. Kebingungan sementara
2. Tatapan mata kosong
3. Gerakan menyentak pada kaki dan tangan
4. Hilang kesadaran
5. Takut
6. Cemas
Apabila gejala mulai di alami, sebaiknya segera diperiksakan ke rumah sakit.
Sebagian masyarakat awam saat ini masih ada yang menganggap epilepsi merupakan penyakit menular.
Padahal epilepsi merupakan penyakit yang tidak menular.
Baca juga: Jenis Lemak Apa Yang Dapat Dihindari Jika Ingin Mengurangi Berat Badan, Dok?
Baca juga: Yuk Cegah Obesitas Agar Terhindar Dari Penyakit Yang Tidak Diharapkan
Pemicu epilepsi dipengaruhi dari faktor genetika.
Namun terdapat beberapa faktor lain yang dapat memicu terjadinya epilepsi.
Di antaranya adalah cedera otak traumatis, cedera otak pada jaringan parut, demam tinggi, stroke diatas usia 35 tahun, penyakit pembuluh darah, kekurangan oksigen pada otak, tumor atau kista pada otak, dimensia atau alzheimer, pemggunaan obat tertentu, cedera parental, malformasi otak, kekurangan oksigen saat lahir, dan penyakit neurologis lainnya.

Menurut dr. Felix Adrian, epilepsi merupakan suatu bangkitan yang berulang lebih dari satu kali dan jaraknya antara satu bangkitan dan bangkitan selanjutnya adalah lebih dari 24 jam dan tampak propokasi.
Tidak semua epilepsi berbentuk kejang.
Ada juga yang mungkin gerak tangannya saja.
Bangkitan merupakan arti yang lebih luas daripada kejang.
Faktor risiko terjadinya epilepsi terbagi menjadi dua.
Yang pertama, muncul saat penderita masih anak-anak.
Yang kedua, muncul akibat penyakit tertentu.
Bayi prematur memiliki risiko epilepsi.
Baca juga: Dok, Bagaimana Cara Mengenali Bakat Anak?
Baca juga: Apa Saja Kebutuhan Dasar Tumbuh Kembang Anak pada Masa Golden Age?
Bayi yang tidak menangis saat dilahirkan juga memiliki risiko terjangkit epilepsi.
Meskipun tidak terlalu banyak, secara genetik juga dapat menyebabkan epilepsi.
Pada pasien tertentu yang sudah berusia dewasa dan memiliki penyakit tertentu seperti tumor di otak, infeksi di otak, atau stroke, riwayat tersebut juga memiliki risiko terjadinya epilepsi.
Yang sering terjadi adalah penggunaan obat-obat terlarang.
Seperti kokain dan penggunaan alkohol secara berlebihan dapat memicu suatu epilepsi.
Deteksi dini epilepsi digolongkan terlebih dahulu berdasarkan penyebabnya.
Apabila terjadi karena infeksi otak, perlu dilakukan pemeriksaan cairan otak.
Jika terjadi akibat trauma kepala, perlu dilakukan CT scan kepala untuk melihat apakah ada sesuatu pendarahan di kepala, hal ini juga dapat dilakukan untuk penderita tumor otak.

MRI atau magnetic resonance imaging juga sangat penting dilakukan untuk melihat suatu gangguan pada struktur otak tersebut.
EEG atau electroencephalography juga tak kalah penting dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk melihat aliran lisrik di otak apakah ada suatu masalah disana.
Pada kasus kejang, penolong tidak boleh panik.
Penolong perlu mengamankan lingkungan di sekitar dan orang-orang yang berada di sekitarnya.
Karena pada saat kejang, pasien akan mengalami hypoxia atau kekurangan oksigen.
Ketika terjadi kerumunan, pasien harus berkompetisi dengan orang lain.
Selanjutnya, penolong harus menjauhkan benda-benda yang berbahaya dari pasien tersebut.
Ketika kejangnya sudah berhenti, pasien di hadapkan pada posisi miring.
Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan air liur dan lidah pasien tidak jatuh ke belakang yang dapat menyumbat saluran nafas.
Memasukkan sendok pada saat pertolongan tidak dianjurkan oleh dokter.
Baca juga: Orang Tua Perlu Waspada Penularan COVID-19 pada Anak
Baca juga: Apa Saja Penyakit Yang Dapat Menyerang Rongga Mulut Selama Berpuasa? Berikut Penjelasannya
Karena dapat menimbulkan cedera dalam rongga mulut.
Benda dapat patah dan tersedak ke dalam paru-paru.
Dalam menolong pasien yang kejang tidak dianjurkan untuk menahan kejangnya.
Karena dapat berisiko bagi sang penolong.
Epilepsi dapat dikontrol dengan menggunakan obat-obatan teratur dan aktivitas yang dibatasi untuk sementara waktu.

Tidak semua pasien epilepsi dapat di operasi.
Pasien yang di operasi biasanya pasien yang sudah minum obat secara teratur namun pasien masih mengalami bangkitan.
Pada pasien yang mengidap tumor otak, harus segera dilakukan operasi pengangkatan tumor.
Namun yang perlu di ingat, operasi pada otak juga dapat berisiko seperti gangguan memori dan gangguan kognitif.
Sehingga harus dipertimbangkan.
Baca juga: Bagaimana Mengatasi Penyakit Lidah dan Bau Mulut? Simak Penjelasan drg. Angela Putri Bunga
Baca juga: Dok, Apakah Normal jika Sering Sariawan saat Merasa Lelah?
Penjelasan Dokter Spesialis Neurologi, dr. Felix Adrian yang dikutip oleh tribunhealth.com dalam tayangan KOMPASTV program Ayo Sehat, edisi 02 Mei 2021.
(TribunHealth.com/Dhiyanti)
Berita lain tentang kesehatan ada di sini.