TRIBUNHEALTH.COM - Burnout kini menjadi epidemi baru di dunia kerja.
Burnout tidak hanya menurunkan produktivitas, tapi juga berdampak langsung pada kesehatan mental dan hubungan sosial pekerja.
Salah satu penyebab utamanya adalah hilangnya makna dalam pekerjaan. Ketika pekerjaan tidak lagi terasa berdampak, motivasi menurun, dan akhirnya, pekerja mulai merasa hampa secara emosional.
Uang memang tetap penting, tentu saja. Namun berbagai penelitian menunjukkan kompensasi finansial bukan lagi satu-satunya alasan orang bertahan di pekerjaan.
Faktor yang lebih menentukan adalah: apakah pekerjaan itu terasa berarti? Apakah yang kita lakukan punya dampak pada orang lain? Apakah kita merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar?
Peneliti dari Frontiers in Psychology menemukan, ketika perusahaan membuka ruang bagi karyawan untuk berkontribusi pada isu sosial melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), muncul proses yang disebut meaning-making yaitu penciptaan makna dalam pekerjaan.
CSR mendorong karyawan untuk “membentuk ulang” pekerjaan mereka agar punya dampak sosial, merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan membayangkan potensi positif dari tindakan mereka (Janssen et al., 2022).
Baca juga: 7 Tanda Anak Kurang Zat Besi, Sering Sakit dan Suka Makan Benda Sembarangan
CSR: Dari Kewajiban Sosial Menjadi Sumber Kesejahteraan Mental
Selama ini, CSR sering diidentikkan dengan kegiatan seremonial: menanam pohon, bagi sembako, atau donasi tahunan.
Padahal di banyak organisasi modern, CSR justru sudah bertransformasi menjadi bagian dari strategi kesejahteraan mental karyawan.
Ketika karyawan diberi ruang untuk terlibat langsung dalam kegiatan sosial entah mengajar anak-anak, ikut program lingkungan, atau jadi relawan dalam bencana mereka merasakan sesuatu yang tidak bisa dibeli: makna.
Bukan sekadar bekerja demi perusahaan, tapi bekerja demi sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Sejumlah riset global juga menunjukkan hal serupa: karyawan yang aktif dalam kegiatan sosial perusahaan cenderung memiliki tingkat stres lebih rendah, merasa lebih bahagia, dan punya rasa keterikatan yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya.
Logikanya sederhana: ketika seseorang merasa pekerjaannya berdampak positif bagi orang lain, energi psikologisnya ikut terisi.
Volunteering, Obat Burnout yang Terlupakan
Banyak perusahaan berlomba menyediakan kelas mindfulness, gym membership, hingga aplikasi kesehatan mental.
Namun, salah satu “obat burnout” yang paling efektif justru adalah kegiatan yang paling manusiawi: menolong orang lain.
Sebuah studi dari Universitas Oxford menemukan fakta menarik: dari berbagai program kesejahteraan yang dijalankan perusahaan, mulai dari yoga, kelas mindfulness, hingga aplikasi mental health, volunteering justru menjadi satu-satunya kegiatan yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan mental karyawan secara signifikan.
Karyawan yang terlibat sebagai relawan mengalami peningkatan rasa memiliki, harga diri, dan kepuasan hidup.
Mereka merasa dihargai bukan karena target kerja, tapi karena kontribusi nyata pada sesama.
Dalam konteks Indonesia, dampaknya bisa lebih kuat. Budaya gotong royong dan solidaritas sosial yang menjadi ciri khas masyarakat kita sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan CSR.
Ketika perusahaan memberi ruang bagi karyawan untuk berbuat baik, mereka tidak hanya memperkuat citra sosialnya, tapi juga menyehatkan jiwa kolektif di tempat kerja.
Baca juga: 6 Fakta Anak Bertubuh Kurus tapi Aktif, Ayah dan Bunda Perlu Khawatir?
Dari Teori ke Praktik: CSR yang Benar-Benar Berdampak
Tentu tidak semua program CSR otomatis membawa manfaat psikologis bagi karyawannya.
Masih banyak perusahaan masih menjalankannya sekadar formalitas proyek tahunan tanpa melibatkan hati, minat dan pikiran karyawan.
Riset menunjukkan bahwa CSR hanya efektif jika karyawan benar-benar terlibat dan merasakan kesesuaian nilai dengan kegiatan tersebut.
Ketika mereka diberi ruang untuk memilih kegiatan yang dekat dengan minat pribadi, dampaknya jauh lebih besar.
Program yang efektif adalah yang menggabungkan dua hal:
- Pendekatan organisasi: perusahaan menciptakan sistem dan dukungan nyata.
- Pendekatan individual: karyawan diberi ruang untuk memilih kegiatan sosial yang sesuai dengan nilai pribadinya (job crafting).
Ketika orang bisa menyesuaikan pekerjaan dengan makna personalnya, semangat dan daya tahannya terhadap stres meningkat signifikan.
CSR bukan lagi “program tambahan”, tapi bagian dari perjalanan personal dan profesional karyawan untuk menemukan arti dalam pekerjaannya.
Melihat CSR Sebagai Investasi, Bukan Biaya
Sayangnya, sebagian besar organisasi masih menganggap CSR sebagai beban biaya. Padahal, banyak bukti menunjukkan sebaliknya.
Program CSR yang dirancang dengan memperhatikan kesejahteraan psikologis karyawan mampu meningkatkan engagement, menurunkan turnover, dan bahkan mendorong produktivitas jangka panjang.
Beberapa perusahaan global mulai melihat CSR sebagai strategic investment untuk membangun budaya kerja yang sehat dan manusiawi.
Di tengah tren resign massal, keresahan generasi muda, dan meningkatnya kasus burnout, langkah ini menjadi semakin relevan.
Meniti dengan Makna
Psikolog Gail Sheehy pernah menulis, “Hidup yang bermakna adalah fondasi kebahagiaan manusia.” Kalimat itu kini terasa sangat relevan terutama di dunia kerja modern.
Ketika perusahaan membantu karyawan menemukan makna lewat pekerjaan, salah satunya melalui program CSR yang tulus dan partisipatif, mereka sesungguhnya sedang menanam benih kesejahteraan jangka panjang.
Bukan hanya bagi masyarakat di luar tembok perusahaan, tapi juga bagi orang-orang yang setiap hari menggerakkan roda di dalamnya.
Karena pada akhirnya, karyawan yang bahagia, sehat, dan merasa berarti adalah aset paling berharga yang dimiliki organisasi mana pun.
Oleh : Muhammad Firdaus Ismail (Edo), Mahasiswa Magister Sains Psikologi, Unika Soegijapranata
(Tribunhealth.com)
Baca juga: Daftar Makanan Sehat untuk Menjaga Fungsi Ginjal Tetap Optimal