Breaking News:

Kalau Malaysia Bisa, Kenapa Indonesia Tidak?

Setiap tahunnya, lebih dari 300.000 warga negara Indonesia memilih untuk berobat ke Malaysia

Editor: Melia Istighfaroh
pixabay.com
Ilustrasi konsultasi dengan dokter 

TRIBUNHEALTH.COM - Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan sekaligus disadarkan oleh testimoni Tantowi Yahya, mantan Duta Besar RI untuk Selandia Baru.

Dalam sebuah video yang beredar luas di media sosial, ia membagikan pengalamannya menjalani pemeriksaan kesehatan di Penang, Malaysia.

Dengan nada kagum, ia menyampaikan bahwa pelayanannya cepat, alatnya lengkap, dokternya komunikatif, dan yang paling mencengangkan biayanya terjangkau.

Apa yang dialami Tantowi Yahya sejatinya bukan hal baru. Setiap tahunnya, lebih dari 300.000 warga negara Indonesia memilih untuk berobat ke Malaysia, bahkan untuk tindakan medis yang sebetulnya tersedia di Indonesia.

Fenomena ini menunjukkan bahwa daya saing layanan kesehatan tidak cukup dibangun hanya dengan gedung modern atau alat canggih tetapi juga melalui kesatuan visi antara negara, profesi, dan institusi pelayanan.

Bukan soal kemampuan, tapi kemauan, Indonesia tidak kekurangan dokter hebat.

Rumah sakit besar kita juga banyak yang berstandar internasional.

Namun, sistem pelayanan kesehatan kita masih tersandera oleh tiga masalah utama: birokrasi, distribusi, dan paradigma.

Baca juga: 7 Cara Sehat Memasak Daging Kambing, Aman untuk Kesehatan

ilustrasi konsultasi dengan dokter
ilustrasi konsultasi dengan dokter (freepik/Holiak)

Pertama, birokrasi pelayanan masih rumit. Untuk bertemu spesialis, pasien harus melewati prosedur berjenjang, antre berhari-hari, dan sering kali harus kembali hanya untuk melihat hasil pemeriksaan.

Di Malaysia, pasien bisa langsung ke dokter spesialis, hasil pemeriksaan keluar di hari yang sama, dan konsultasi lanjutan pun segera dilakukan.

2 dari 4 halaman

Kedua, distribusi layanan kesehatan yang timpang. RS besar dan dokter spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara daerah lainnya kekurangan.

Sementara itu, Malaysia justru membangun rumah sakit swasta kelas dunia di kota-kota seperti Penang, Melaka, dan Johor Bahru—bukan hanya di Kuala Lumpur.

Ketiga, paradigma pelayanan yang belum bergeser.

Di Malaysia, pasien diperlakukan sebagai tamu yang dihormati.

Pelayanan yang ramah, komunikatif, dan penuh empati menjadi standar, bukan pengecualian.

Di Indonesia, keramahan dan kenyamanan pasien masih sangat bergantung pada individu tenaga kesehatan, bukan sistem.

Malaysia Menang Karena Sistem

Sejak 2009, Malaysia membentuk Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC) untuk mengintegrasikan layanan wisata medis.

Pemerintah memberi insentif kepada rumah sakit swasta yang melayani pasien asing, menyederhanakan perizinan, dan mendorong pelayanan berbasis hospitality.

Strategi ini bukan hanya mendongkrak reputasi Malaysia di mata dunia, tapi juga menguntungkan secara ekonomi. 

3 dari 4 halaman

Sektor medical tourism menyumbang miliaran ringgit per tahun, sekaligus mendorong peningkatan standar layanan bagi warga negaranya sendiri.

Keberhasilan itu juga tidak lepas dari keterlibatan para profesional medis dan asosiasi profesi.

Mereka terlibat aktif dalam membangun sistem akreditasi, pelatihan, dan pengawasan etis.

Dengan demikian, reformasi pelayanan tidak hanya berjalan top-down dari pemerintah, tetapi juga didorong dan dijaga oleh komunitas medisnya sendiri.

Baca juga: Amankah Penggunaan Retinol, Salisilat, dan Bahan Skincare Lain Saat Hamil? Ini Kata dr. Arieffah

ilustrasi seorang anak sedang diperiksa oleh dokter
ilustrasi seorang anak sedang diperiksa oleh dokter (kompas.com)

Peran Organisasi Profesi: Pilar Mutu Layanan

Di balik kesan nyaman dan efisien yang dirasakan oleh Tantowi Yahya, tersembunyi satu faktor penting yang jarang disorot: keterlibatan aktif komunitas dan organisasi profesi medis di Malaysia dalam mendukung pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien.

Di Malaysia, organisasi seperti Malaysian Medical Association (MMA) dan dewan profesi spesialis secara konsisten bekerja sama dengan pemerintah dan rumah sakit swasta menyusun panduan praktik klinis, menjaga mutu layanan, serta melatih dokter untuk berkomunikasi dengan empati dan profesional.

Kolaborasi ini bukan sekadar formalitas, ia menjadi bagian dari budaya sistemik dalam ekosistem kesehatan Malaysia.

Organisasi profesi adalah kunci agar perubahan tidak berhenti di pusat atau pada kalangan elite saja.

Mereka memiliki jaringan luas hingga ke pelosok, menguasai konteks lapangan, dan dipercaya oleh anggota profesi.

4 dari 4 halaman

Perubahan budaya pelayanan yang lebih empatik, efektif, dan manusiawi harus didorong dari dalam komunitas profesi itu sendiri.

Pemerintah perlu merangkul organisasi profesi sejak tahap perencanaan kebijakan.

Dengan demikian, reformasi layanan kesehatan tidak akan terasa memaksa, tapi tumbuh dari semangat kolektif para pelaksana di lapangan.

Apa yang telah dilakukan oleh Malaysian Medical Association bersama MHTC, bisa menjadi model awal.

Kita Bisa, Kalau Kita Mau

Baca juga: 4 Hal yang Harus Diperhatikan Saat Memilih Susu Formula untuk Bayi

Lantas, apa yang harus dilakukan Indonesia?

  1. Membentuk Badan Wisata Medis Nasional yang mengintegrasikan RS swasta unggulan dan memperkenalkan layanan unggulan Indonesia ke mancanegara.
  2. Reformasi sistem akses pasien mandiri agar bisa langsung ke spesialis dan memperoleh hasil pemeriksaan tanpa harus menunggu berhari-hari.
  3. Mendorong pembangunan RS unggulan di luar Jawa, dengan dukungan fiskal dan kemitraan publik-swasta.
  4. Menjadikan keramahan dan komunikasi sebagai standar pelayanan, bukan hanya preferensi pribadi tenaga medis.
  5. Melibatkan organisasi profesi seperti IDI, PDGI, PPNI secara sistemik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan kesehatan.

Penutup: Kita Tidak Kekurangan, Kita Belum Satu Suara

Testimoni Tantowi Yahya adalah potret keresahan sekaligus harapan masyarakat Indonesia.

Mereka bukan mencari layanan yang mewah, tapi yang cepat, ramah, jelas, dan manusiawi.

Kita memiliki dokter-dokter hebat, rumah sakit dengan akreditasi internasional, dan teknologi medis terkini.

Tetapi kekuatan-kekuatan itu masih bekerja sendiri-sendiri, belum terintegrasi dalam satu sistem yang solid dan berpihak pada pasien.

Kalau Malaysia bisa, dengan sumber daya yang lebih terbatas dan populasi yang lebih kecil, mengapa kita tidak?

Yang kita butuhkan bukan hanya perbaikan fasilitas, tetapi kesatuan arah antara negara, swasta, tenaga medis, dan organisasi profesi untuk membangun sistem kesehatan Indonesia yang bukan hanya canggih, tapi juga layak dipercaya dan dicintai rakyatnya sendiri.

Oleh: Dr. drg. Eka Erwansyah, MKes, SpOrt, SubSp.DDTK(K)
(Sekjen PB Persatuan Dokter Gigi Indonesia)

(Tribunhealth.com)

Baca juga: Dok, Adakah Kebiasaan Tertentu yang Tidak Boleh Dilakukan Anak agar Mencegah Kelainan Mata?

Selanjutnya
Tags:
Tribunhealth.comRumah SakitDuta BesarSelandia Baru
BERITATERKAIT
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved