TRIBUNHEALTH.COM - Kemunculan ikan oar atau oarfish ke permukaan tengah menjadi perbincangan di media sosial.
Pasalnya munculnya ikan ini ditengarai sebagai tanda akan datangnya suatu bencana.
Terkait hal ini, BMKG dan BRIN angkat bicara untuk memberi penjelasan ilmiah.
Lalu apakah benar oarfish menjadi tanda bencana akan datang?
Dilansir TribunHealth.com dari Tribunnews, berikut ini fakta-faktanya.
Baca juga: Efek Masturbasi saat Remaja Baru Terlihat saat Berumah Tangga, dr. Binsar Sebut Rawan Ejakulasi Dini
Viral di media sosial

Twitter tengah ramai membahas soal ikan oar atau oarfish, yang diduga kemunculannya ke permukaan sebagai tanda datangnya bencana alam.
Seperti kepanikan yang terjadi ketika oarfish ditemukan di sekitar perairan Taiwan, beberapa waktu lalu.
"Ikan oarfish itu hidupnya di kedalaman 1 km di bawah laut kalo dia naik ke permukaan berarti pertanda akan bencana alam soalnya dia jarang naik ke permukaan," narasi dalam unggahan Twitter @tanyarlfes, Rabu (26/7/2023).
Hingga Kamis (27/7/2023) sore, unggahan tersebut telah menuai lebih dari 2,3 juta tayangan, 26.900 suka, dan 1.800 twit ulang dari pengguna Twitter.
Baca juga: Berikut Ini Kriteria Pasien Jantung Koroner yang Perlu Pasang Ring Jantung, Menurut dr. Nanda, Sp.JP
Penjelasan BMKG

Dilansir TribunJatim dari Kompas.com, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono, angkat bicara.
Dia membantah narasi yang menyebut bahwa penampakan oarfish merupakan tanda akan ada bencana alam.
Dia menjelaskan belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa kemunculan oarfish ke permukaan laut pertanda akan ada gempa bumi maupun tsunami.
"Belum ada bukti empiris tentang hal itu. Kemunculannya bisa jadi karena dinamika oseanografi, sakit, atau tua," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/7/2023).
Baca juga: Lagi-lagi Polri Jadi Sorotan, 9 Polisi Aniaya Pelaku Narkoba hingga Tewas, Jasad Dilempar ke Jurang
Penjelasan BRIN

Terpisah, Peneliti Pusat Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Selvia Oktaviyani mengatakan, salah satu dugaan penyebab ikan ini muncul lantaran terdorong badai atau terbawa arus yang kuat.
"Belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa keberadaannya memang berkaitan dengan bencana alam," terang dia.
Sementara anggapan bahwa kemunculan oarfish karena keinginan untuk membunuh dirinya sendiri, juga belum dapat dipastikan.
Kemungkinan, menurut Selvia, anggapan tersebut timbul karena sejauh ini oarfish yang muncul ke permukaan selalu dalam keadaan mati.
"Yang pasti sejauh ini belum ada kepastian kenapa bisa muncul oarfish," ungkapnya.
Penjelasan pakar IPB
Senada, Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Mohammad Mukhlis Kamal menerangkan, belum ada kesimpulan yang menyatakan hubungan oarfish dan bencana yang akan datang.
Namun, Mukhlis menyampaikan, para ilmuwan Jepang percaya bahwa oarfish dapat menjadi petunjuk terjadinya gempa bumi di suatu wilayah.
Pasalnya, menurut Kiyoshi Wadatsumi, salah seorang ilmuwan Jepang, hewan di perairan dalam diduga dapat mendeteksi atau lebih sensitif terhadap pergerakan atau pergeseran kerak bumi.
"Mereka lebih sensitif dibandingkan dengan yang hidup di permukaan," tutur Mukhlis kepada Kompas.com, Kamis.
Adapun umumnya, spesies oarfish yang ditemukan di Jepang merupakan Regalecus russelii.
"Spesies ini sudah melegenda dan menjadi bagian rakyat Jepang, yang sepanjang waktu harus hidup berdamai dengan gempa bumi," kata dia.
Menurut Mukhlis, oarfish merupakan ikan laut dalam yang sangat jarang muncul ke permukaan.
Ikan ini merupakan ikan bertulang sejati atau bony fishes, dan disebut sebagai ikan bertulang sejati terpanjang di dunia.
"Yang pernah terdampar di Pantai Califormia, panjangnya hingga 4,3 meter," ujarnya.
Meski demikian, ukuran maksimum oarfish dapat mencapai 17 meter dengan berat hingga 600 kg untuk jenis giant oarfish atau Regalecus glesne.
Ciri lain dari makhluk laut dalam ini, antara lain pemakan plankton, tidak memiliki sisik, serta memproduksi lendir gelatin yang banyak atau tebal.
"Tidak agresif dan berbahaya," lanjut Mukhlis.
(TribunHealth.com, TribunJatim)