TRIBUNHEALTH.COM - Perusahaan Johnson & Johnson melaporkan vaksin yang mereka produksi efektif melawan viros corona varian delta.
Laporan itu mereka umumkan pada Kamis (1/7/2021), sebagaimana diberitakan TribunHealth.com dari The New York Times.
Dari penelitian yang mereka lakukan, memang vaksin Johnson & Johnson mengalami penurunan potensi terhadap varian delta, dibanding dengan efektivitasnya terhadap virus asli.
Tetapi vaksin itu masih lebih efektif melawan varian Delta daripada varian Beta, yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan.
Pola yang sama juga terlihat pada vaksin mRNA.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Bisa Picu Kecemasan, Dokter: Segera Konsultasi jika Sudah Ganggu Kehidupan
Baca juga: Ketua Komnas KIPI: Baru Vaksin Pertama Namun Terpapar Covid-19, Tetap Harus Lanjut Vaksin Kedua
Para peneliti juga melaporkan, antibodi yang terbentuk vaksin Johnson & Johnson terus tumbuh dari waktu ke waktu.
Perusahaan mempublikasikan penelitian ini lebih cepat, mengingat ada kekurangan informasi di masyarakat.
Warga AS ragu dan mempertanyakan efektivitas vaksin Johnson & Johnson, dibanding vaksin lainnya.
Satu di antara yang menimbulkan tanda tanya adalah pemberiannya yang hanya satu dosis.
“Hal yang tidak pernah saya pahami sepenuhnya tentang Johnson & Johnson adalah bahwa platform teknologi mereka pada dasarnya sangat, sangat mirip — hampir tidak dapat dibedakan dari AstraZeneca,” kata Imunologis Imperial College London, Dr. Danny Altmann.
Baca juga: Simak Tips dari Dokter dalam Menjaga Kesehatan Keluarga dari Covid-19
Baca juga: Rumah Sakit Mulai Penuh, Dokter Bagikan Tips Isolasi Mandiri bagi Pasien Covid-19 Bergejala Ringan
"Haruskah itu benar-benar vaksin dua dosis seperti yang lainnya?"
Di sisi lain, pemberian dosis tunggal memberi keuntungan bagi pihak yang memiliki akses terbatas.
Kendati demikian, munculnya varian baru seperti beta dan delta memunculkan keraguan di masyarakat.
Satu dosis vaksin AstraZeneca jauh kurang efektif terhadap varian baru dari pada dua dosis, dan para ahli khawatir vaksin Johnson & Johnson mungkin serupa.
Hal ini kemudian memunculkan diskusi mengenai booster, atau dosis tambahan.
Studi baru membahas beberapa kekhawatiran tersebut.
Baca juga: Sering Dianggap Sama, Satgas Covid-19 Tegaskan Isolasi Mandiri Berbeda dengan Karantina Mandiri
Para peneliti melacak respon imun pada sukarelawan 29 dan 239 hari setelah inokulasi pertama.
Sepuluh dari peserta penelitian hanya menerima satu dosis Johnson & Johnson.
Sementara 10 lainnya mendapat dosis kedua Johnson & Johnson atau vaksin mRNA.
Sementara tingkat antibodi darah yang dihasilkan setelah imunisasi dengan Pfizer-BioNTech atau Moderna turun setelah lonjakan awal, antibodi — dan sel kekebalan — yang dirangsang oleh vaksin Johnson & Johnson bertahan pada tingkat tinggi.
Penelitian lain, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa respon imun yang dihasilkan oleh vaksin mRNA juga cenderung bertahan selama bertahun-tahun.
Dosis kedua Johnson & Johnson meningkatkan tingkat antibodi menjadi lebih tinggi.
Baca juga: Benarkah 3 Kali Suntik Vaksin Covid19 Lebih Baik daripada 2 Kali? Begini Tanggapan Ketua Komnas KIPI
Penguat mRNA meningkatkannya lebih jauh, meskipun jumlah di setiap kelompok terlalu kecil untuk signifikan secara statistik.
Delapan bulan setelah inokulasi Johnson & Johnson, antibodi peserta juga tampak lebih efektif melawan varian dari pada tanda satu bulan.
Satu peserta yang mendapat dosis tunggal terinfeksi virus corona.
Kurangnya informasi tentang respon imun terhadap vaksin Johnson & Johnson telah membuat banyak orang berspekulasi bahwa mereka mungkin memerlukan suntikan kedua, dosis vaksin mRNA.
Tetapi temuan baru menunjukkan bahwa setidaknya untuk saat ini, orang yang menerima vaksin Johnson & Johnson tidak membutuhkan booster.
*Baca artikel lain seputar vaksinasi dan Covid-19 di sini.
(TribunHealth.com/Ahmad Nur Rosikin)