TRIBUNHEALTH.COM - dr. Roro Rukmi Windi Perdani, Sp. A. memberikan tips agar tidak mudah terkena alergi.
Alergi bisa muncul karena berbagai faktor penyebab.
Alergi bisa terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.
Baca juga: Mitos atau Fakta Terjadinya Alergi Dipengaruhi Faktor Genetik? Simak Penjelasan dr. Muhammad Fiarry
Faktor genetik ini membuat seseorang rentan terhadap suatu alergen atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Akhirnya memicu terjadinya alergi.
Untuk menghindarinya, rasanya akan sulit.
Berbeda jika alergi dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Faktor lingkungan terjadi akibat suatu zat asing yang masuk dalam tubuh seseorang.
Hal ini seharusnya tidak menimbulkan respon imun. Tetapi pada penderita yang memiliki kerentanan tertentu, akhirnya menyebabkan alergi.
Baca juga: Waspada Demam Berdarah, Penyakit yang Rentan Dialami Oleh Anak-anak dan Usia Lanjut
Dilansir Tribunhealth.com dari tayangan YouTube Tribun Lampung News Video, alergi yang disebabkan oleh faktor lingkungan, antara lain seperti:
- Paparan MPASI (Makanan Pendamping Asi) terlalu dini

- Paparan susu formula di bawah usia 6 bulan
- dan paparan antibiotik yang tidak rasional
Untuk menghindari berbagai faktor pencetus alergi di atas, upaya yang bisa dilakukan adalah menghindarinya.
Baca juga: dr. Tan Shot Yen Jelaskan Dampak Pemberian MPASI Instan, Anak Bisa Tak Mau Konsumsi Makanan Asli
Seperti tidak terlalu dini memberikan MPASI, tidak terlalu dini memberikan susu formula, dan tidak menggunakan obat antibiotik yang tidak rasional.
"Jadi kalau kita minum antibiotik itu harus betul-betul ada indikasi medis yang tepat," imbuh Roro.
Zat asing yang menyebabkan alergi, disebut alergen.

Dengan demikian alergi disebut sebagai suatu respon imun.
Respon imun memiliki fungsi untuk melindungi tubuh dari serangan zat asing.
Jenis-jenis Alergi
Alergi jika dibedakan berdasarkan respon imun, memiliki 4 tipe. Mulai tipe 1 hingga 4.
Sedangkan jika dibedakan berdasarkan alergen atau benda yang menyebabkan alergi, itu bisa berupa:
Baca juga: Pemberian ASI Eksklusif Bisa Bantu Anak Hindari Obesitas, Menurut Penelitian WHO

- Inhalat (sesuatu yang dihirup), misalnya: debu, tungau, serbuk sari tanaman.
- Ingasiant (sesuatu yang tertelan), misalnya: protein yang ada di dalam makanan tertentu.
Baca juga: Seorang Ibu Alergi terhadap Gen Anaknya Sendiri, Kulit Kemerahan dan Melepuh setelah Melahirkan
- Sesuatu yang kontak dengan kulit atau mukosa di dalam tubuh.
Tanda-tanda Alergi
Sejumlah tanda alergi yang bisa dikenali.
Antara lain:
- Sulit buang air besar (konstipasi)
- Diare
- Muntah

- BAB disertai darah
- Merah-merah di kulit atau eritema
- Pilek tapi bukan karena infeksi (Rinitis)
Baca juga: Ternyata Pilek Tak Sama dengan Flu, Bisa Dibedakan dari Gejala dan Tingkat Keparahannya
- Asma
- Batuk
- Hipersekresi
Menentukan Penyebab Alergi
Berdasarkan penuturan Roro, langkah utama dalam mengatasi alergi yang tidak diketahui penyebabnya adalah melakukan prinsip penghindaran sementara waktu.
Bisa dilakukan dengan menghindari hal-hal yang dicurigai menyebabkan alergi.

"Misalnya setelah makan telur, muncul merah-merah di sekitar mulut atau gatal. Kita curigai alergi terhadap protein di dalam telur itu."
"Artinya untuk memastikan kecurigaan tersebut, kita coba dulu menghindari makan telur," terang Roro.
Penghindaran ini bisa dilakukan selama kurun waktu 2 hingga 4 minggu.
Baca juga: Penderita PPOK Tetap Bisa Olahraga, Dokter Jelaskan Bisa Bantu Ringankan Gejala
Jika ditemukan perbaikan setelah penghindaran, kemungkinan besar hal tersebut adalah faktor pencetus yang menyebabkan alergi.
Karena alergi akan muncul jika ada paparan.
Dengan demikian, bila paparan tersebut dihindari seharusnya alergi tidak muncul.

Selanjutnya, jika telah mengalami perbaikan dan tidak muncul respon alergi, maka bisa mencoba lagi untuk mendekati faktor yang dicurigai sebagai pencetus alergi tersebut.
Upaya ini disebut dengan Challenge.
Bila dicontohkan di atas, pencetus alergi adalah protein di dalam telur, maka bisa kembali lagi mengonsumsi telur tersebut.
Baca juga: Resep Dokter Tak Bisa Asal Diulang, Gejala yang Sama Belum Tentu Disebabkan Penyakit yang Sama
Bila setelah mengonsumsi kembali, timbul gejala alergi yang sama seperti sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa pencetus alergi adalah protein di dalam telur tersebut.
Kendati demikian, jangan pernah melakukan Challenge ini jika manifestasi yang dialami berat.
Jika manifestasinya berat, maka bisa berisiko mengancam nyawa. Misalnya Anafilaksis atau syok.

"Tidak disarankan untuk dicoba lagi, jika manifestasinya adalah syok anafilaktik. Karena bisa menyebabkan kematian" imbuh Roro.
Selanjutnya, meskipun manifestasi yang dialami ringan dan sedang, sebaiknya Challenge dicoba kembali di bawah pengawasan dokter.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi respon yang berat.
Baca juga: Waspada Demam Berdarah, Penyakit yang Rentan Dialami Oleh Anak-anak dan Usia Lanjut
Karena jika pada awalnya manifestasi ringan, bisa saja respon selanjutnya menimbulkan manifestasi sedang hingga berat.
Bahkan bisa juga, jika awalnya belum muncul manifestasi alergi, bisa timbul kembali pada waktu berikutnya.

"Misalnya pertama kali makan udang nggak papa, eh makan udang kedua, ketiga, keempat muncul."
"Sebenarnya nggak papa itu karena belum muncul manifestasi, tetapi respon imun di dalam tubuh sebenarnya sudah ada," jelas Roro.
Sehingga jika kita menerima protein yang sama, dalam hal ini adalah protein udang, akhirnya muncul lagi respon alergi.

Ketika respon tersebut sudah banyak dan memuncak, barulah bermanifestasi.
"Jadi kalau kita mau coba lagi hati-hati, karena yang tadinya ringan bisa aja nanti jadi berat," pesan Roro.
Baca juga: Mencium Aroma Terapi hingga Minum Teh Herbal Dapat Membantu Atasi Kecemasan
Penjelasan dr. Roro Rukmi Windi Perdani, Sp. A ini dilansir Tribunhealth.com dari tayangan YouTube Tribun Lampung News Video(3/2/2021)
(Tribunhealth.com/Ranum Kumala Dewi)