TRIBUNHEALTH.COM - Perselingkuhan menjadi isu sosial-psikologis penting di era digital.
Artikel ini melakukan tinjauan literatur untuk mengaitkan temuan empiris terakhir tentang penyebab dan mekanisme perselingkuhan dengan Teori Segitiga Cinta Robert Sternberg (intimacy, passion, commitment).
Fokus pembahasan ini meliputi peran ketidakpuasan emosional, penurunan gairah, lemahnya komitmen, dan fenomena cyber-infidelity yang dimediasi oleh media sosial.
Temuan dari kajian menunjukkan konsistensi antara faktor-faktor risiko empiris dan kerangka Sternberg, yaitu perselingkuhan sering muncul sebagai kompensasi ketika salah satu atau lebih komponen cinta tidak terpenuhi.
Implikasi untuk intervensi pasangan dan penelitian lanjutan disajikan.
Pendahuluan
Perselingkuhan tetap menjadi penyebab utama konflik dan disfungsi hubungan romantis.
Di era media sosial dan aplikasi kencan, bentuk dan mekanisme perselingkuhan mengalami diversifikasi, termasuk perselingkuhan emosional melalui chat, dan perselingkuhan seksual yang difasilitasi pertemuan offline setelah kontak online.
Literatur modern menekankan faktor individu, misalnya pada attachment insecurity, hubungan yakni intimacy, sexual satisfaction, dan konteks akses teknologi/media sosial sebagai penentu risiko perselingkuhan
Sternberg (1986) memformulasikan tiga komponen cinta: Intimacy (kedekatan emosional), Passion (gairah/ketertarikan fisik), dan Commitment (keputusan mempertahankan hubungan).
Kombinasi ketiga komponen menghasilkan bentuk cinta yang berbeda (mis. consummate love = ketiga unsur lengkap).
Baca juga: 8 Makanan Tinggi Serat yang Mendukung Keseimbangan Kadar Gula Darah
Ketidakseimbangan komponen-komponen ini dapat melemahkan kualitas hubungan dan membuka celah bagi perilaku mencari penggantian di luar hubungan utama.
1. Peran Intimacy (kedekatan emosional)
Banyak studi menunjukkan bahwa rendahnya kedekatan emosional dan komunikasi yang buruk berhubungan signifikan dengan risiko terjadinya perselingkuhan emosional.
Ketika kebutuhan akan keakraban tidak terpenuhi, individu cenderung mencari kedekatan emosional di luar hubungan.
Studi tentang perilaku perselingkuhan di media sosial menemukan hubungan antara rendahnya emotional intimacy dan meningkatnya perilaku “infidelity-related behaviors” (mis. menyembunyikan percakapan, membentuk kedekatan emosional dengan orang lain secara online).
2. Peran Passion (gairah/ketertarikan fisik)
Penurunan gairah seksual atau pengalaman hubungan yang “monoton” dikaitkan dengan pencarian stimulus baru—baik secara fisik maupun fantasi yang dapat bereskalasi menjadi perselingkuhan seksual.
Literatur menunjukkan bahwa penurunan kepuasan seksual memprediksi perilaku mencari dari luar.
Beberapa model empiris menempatkan kepuasan seksual sebagai prediktor tidak langsung melalui menurunnya kepuasan hubungan keseluruhan.
3. Peran Commitment (komitmen)
Komitmen yang lemah (mis. ambivalence terhadap masa depan hubungan) memfasilitasi transisi dari godaan menjadi tindakan (cheating).
Longitudinal studies juga menemukan bahwa dinamika hubungan awal (mis. pada masa pernikahan dini) dan kombinasi ketidakamanan attachment memprediksi insiden perselingkuhan selama pernikahan.
Dengan kata lain, komitmen melindungi terhadap perselingkuhan, tetapi ketika komitmen melemah, risiko meningkat.
4. Attachment Insecurity sebagai Moderator/Prediktor
Meta-analisis dan studi longitudinal menunjukkan bahwa ketidakamanan attachment (khususnya attachment anxiety) meningkatkan probabilitas perselingkuhan; interaksi antara gaya attachment individu dan gaya pasangan dapat memprediksi risiko infidelity dalam pernikahan.
Gaya attachment ini juga mempengaruhi bagaimana seseorang merespons ketidakseimbangan dalam segitiga cinta (mis. orang dengan attachment-anxious lebih mungkin mencari penegasan emosional pada pihak ketiga).
5. Cyber-infidelity dan Peran Media Sosial
Studi empiris pra-dan pasca-era media sosial menunjukkan munculnya infidelity-related behaviors (menyimpan pesan, membentuk “kedekatan” online, berkomunikasi rahasia) yang berhubungan dengan rendahnya intimacy dan kepuasan.
Ketersediaan teknologi mempermudah pertemuan dan komunikasi yang rahasia, sehingga memperkecil hambatan kesempatan (opportunity).
Studi di sampel Hispanik menemukan bahwa kurangnya sexual satisfaction dan emotional intimacy meningkatkan ambivalensi hubungan, yang kemudian memprediksi perilaku infidelity di media sosial.
Analisis literatur menunjukkan pola koheren dengan kerangka Sternberg:
- Kekurangan Intimacy → memicu perselingkuhan emosional; individu mencari kelekatan yang hilang di luar hubungan. (Sesuai komponen intimasi).
- Penurunan Passion → dorongan untuk mendapatkan rangsangan/ketertarikan baru, yang dapat memicu perselingkuhan seksual atau fantasi. (Sesuai komponen hasrat).
- Lemahnya Commitment → menurunkan hambatan moral/konsekuensi, sehingga niat untuk berselingkuh lebih mungkin terealisasi. (Sesuai komponen komitmen).
Selain itu, attachment insecurity berfungsi sebagai faktor predisposisi yang memoderasi bagaimana ketidakseimbangan ketiga komponen tadi dieksplorasi atau ditangani.
Individu dengan kecemasan attachment mungkin bereaksi berlebihan terhadap penurunan intimacy dan lebih terdorong mencari penggantian di luar.
Fenomena cyber-infidelity memperlemah penghalang kesempatan tradisional (jarak, pengawasan), sehingga ketidakseimbangan yang sebelumnya tertahan oleh hambatan kesempatan kini lebih mudah berubah menjadi perilaku nyata.
Model empiris menunjukkan peran mediasi: rendahnya intimacy atau sexual satisfaction menyebabkan ambivalence hubungan dan menghasilkan perilaku infidelity di media sosial.
Baca juga: Apakah Benar Eksfoliasi Hanya Boleh Dilakukan di Dokter Kulit? Ini Penjelasannya
Jika kita ingin terhindar dari ketidakharmonisan dalam membina sebuah hubungan, ada baiknya kita melakukan:
1. Intervensi Pasangan
Fokus perlu diarahkan pada peningkatan intimacy bisa lewa komunikasi emosional, pemulihan passion seperti mengikuti konseling seks atau intervensi pasangan, dan penguatan komitmen melalui terapi nilai & rencana bersama.
2. Pencegahan Digital
Pendidikan tentang norma penggunaan media sosial dan batasan privasi, serta manajemen boundaries digital, dapat mengurangi risiko cyber-infidelity.
3. Penilaian Klinis
Terapis harus menilai gaya attachment pasangan dan bagaimana kekurangan dalam segitiga cinta memicu perilaku risiko, lalu menargetkan intervensi pada komponen yang paling lemah.
Perselingkuhan kontemporer dapat dipahami secara teoritis melalui Teori Segitiga Cinta Sternberg: perselingkuhan seringkali merupakan respons kompensatorik terhadap kekurangan intimacy, passion, atau commitment.
Faktor-faktor predisposisi seperti attachment insecurity dan konteks teknologi (media sosial) memperkuat kemungkinan terjadinya perselingkuhan.
Intervensi yang efektif perlu menargetkan komponen yang tidak seimbang dalam segitiga cinta serta memperhatikan konteks digital saat ini.
Oleh: Willy Talita (Mahasiswa Program Studi Magister Psikologi Soegijapranata Catholic University)
(Tribunhealth.com)
Baca juga: 10 Penyebab Pria Mengalami Rambut Rontok hingga Kebotakan, Tingkat Stres Berpengaruh