TRIBUNHEALTH.COM - Fenomena anak yang diasuh oleh “mbah” atau nenek patut menjadi sorotan, baik hanya karena ditinggal untuk bekerja pada siang hari ataupun merantau ke luar kota.
Orang tua yang menitipkan anak untuk diasuh nenek sebenarnya bukan karena ketidakpedulian.
Justru, kepedulian itu yang membuat mereka terpaksa meninggalkan anak untuk bekerja.
Misalnya seperti yang dialami oleh Melia Istighfaroh, seorang single mom berusia 31 tahun.
“Sebenarnya seorang ibu tuh kadang bukan dikasih pilihannya, tapi dituntut untuk tetap mencari uang dan tetap mengasuh anaknya. Jadi mereka itu juga gak mau kalau disuruh pergi (bekerja) terus cuman kayak dibilang ‘kamu cuman ngandung doang, gak mau ngebesarin.’ Sebenernya mereka juga gak mau. Pengennya mereka tetap ngebesarin anaknya sendiri,” kata Melia ketika ditemui TribunNetwork di Novotel Solo, Jumat (4/7/2025).
Sosok perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah, itu tidak memiliki pilihan lain selain menitipkan dua buah hatinya kepada ibu mertua setelah suaminya berpulang 3 tahun silam.
Hal ini terpaksa ia lakukan karena harus menjadi tulang punggung utama untuk anak-anaknya.
Dia berpandangan, pilihan ini adalah pilihan terbaik yang bisa diambil. Toh, nenek juga masih bagian dari keluarga.
“Saya memilih menitipkan anak ke mbah, jadi anak bisa tahu ‘aku gak dititipin loh, aku diasuh dengan kasih sayang dan cinta walaupun itu bukan dari ibuku, itu dari orang terdekatku’.”
Ia menilai opsi ini lebih baik daripada menitipkan anak di daycare yang pada dasarnya adalah orang asing.
Menitipkan anak ke daycare juga memberikan masalah baru, yakni biaya yang tidak murah.
Semakin berkualitas lembaga tersebut, umumnya biaya yang dibutuhkan juga semakin tinggi.
Waswas takut kurang dekat dengan anak
Meski masih memiliki sosok yang menjamin anaknya selama ia bekerja, Melia tetap memiliki kekhawatiran.
Dia waswas kedekatan dan ikatan emosional antara dirinya dan anaknya berkurang.
Terlebih lagi, anaknya yang tidak memiliki sosok ayah juga menunjukkan kelekatan dengan omnya.
“Jadi kadang gini, karena anak saya gak ada figur ayah, jadinya ‘aku pengennya sama om.’ Karena dia laki-laki, mungkin pengen sama orang laki-laki,” papar Melia.
Dihubungi terpisah, seorang Diploma Montessori, Inten Lanjar Kamulyan, menilai berkurangnya bonding antara orang tua yang bekerja dengan anak adalah hal yang dapat terjadi.
“Kalau dari hal tersebut, memang biasanya wajar terjadi. Karena tentunya kuantitas interaksi pasti lebih banyak dengan mbah karena diasuh mbah,” katanya kepada TribunNetwork via telepon, Jumat (4/7/2025).
“Jadi sebenarnya itu gak apa-apa. Namun, hal yang bisa kita siasati untuk bisa bonding dengan anak meskipun memang harus melalui pendekatan mbahnya dulu. Jadi sebelum main sama anaknya langsung, kita main sama anaknya plus dengan mbahnya.”
Artinya, mbah tetap memiliki peran untuk menjembatani agar orang tua tetap punya ikatan yang kuat dengan anak.
Mengisi ‘tangki cinta’ di tengah terbatasnya waktu
Penjelasan senada juga disampaikan oleh pegiat literasi anak, serta Certified Read Aloud Trainer, Laeli Agustia.
Sosok perempuan yang aktif di berbagai taman baca itu tak menutup mata, anak memang bisa lebih dekat kepada mbah jika diasuh olehnya.
Jika jarak sosial antara anak dengan orang tua dirasa terlalu renggang akibat hal ini, dirinya memberikan tips untuk mencari penyebabnya.
“Perlu ditelisik lagi ya, anak itu dekatnya ke mbah karena apa. Apakah karena hal-hal yang dilarang oleh orang tua diperbolehkan mbahnya,” katanya saat dihubungi TribunNetwork via telepon, Jumat (4/7/2025).
Jika sudah menemukan penyebabnya, orang tua harus mengomunikasikan hal ini dengan sosok nenek atau kakek yang merawat si kecil.
Laeli juga berpesan agar ibu yang bekerja tetap memiliki waktu yang berkualitas untuk membangun kedekatan dengan buah hati.
Ia menggambarkan hal ini sebagai usaha untuk mengisi ‘tangki cinta’ anak.
“Diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menggembirakan anak, mengisi tangki cinta anak… Mungkin word of affirmation, mengungkapkan sayang. Dari segi physical touch, atau diajak rekreasi. Jadi tangki cinta anak tetap dipenuhi dengan si orang tua tadi,” pesannya.
Perbedaan gaya mengasuh anak
Melia menyebut, perbedaan batasan serta gaya dalam mengasuh memang menjadi salah satu kendala ketika menitipkan anak kepada mbah.
Dia mencontohkan terkait penggunaan gadget. Dirinya adalah tipe ibu yang ketat soal durasi screen time pada anak, berbeda dengan ibu mertuanya yang lebih longgar dan memperbolehkan si kecil main HP.
Akibatnya, anak menjadi kebingungan mengenai ‘aturan mana’ yang harus diikuti.
“Tantangannya juga parenting yang berbeda (dengan mertua). Kalau sama ibunya mungkin gadgetnya gak boleh ya, nonton TV juga dibatasi. Tapi kalau sama neneknya itu gak apa-apa dikasih gadget, yang penting makan,” paparnya.
“Makan cuma sekali doang kok yang pakai gadget. Padahal itu akan membuat kebiasaan anak. 'Aku kan tadi sama mbah pakai gadget, kok sama mama gak boleh?,” kata Melia, menggambarkan bagaimana anak memprotes dirinya ketika tidak diberikan gadget.
Praktisi Bimbingan dan Konseling, Ifan Setiawan, menjelaskan fenomena seperti ini memang kerap terjadi.
Anak kerap menangkap kesan bahwa seorang nenek atau kakek lebih perhatian.
Hal ini dikarenakan ada sosok mbah yang memang lebih memanjakan anak dibanding orang tua.
Komunikasi adalah kunci
Meski ada berbagai tantangan, bukan berarti kolaborasi pola asuh antara orang tua dan mbah mustahil dilakukan.
Ifan Setiawan berpandangan, yang terpenting adalah komunikasi yang baik antara orang tua dan sosok mbah yang mengasuh.
“Pentingnya komunikasi orang tua dengan mbahnya terkait dengan pola asuh, terkait juga dengan beberapa poin-poin yang perlu dipahami (bersama),” katanya ketika dihubungi TribunNetwork via telepon pada Jumat (4/7/2025).
Penjelasan senada juga disampaikan oleh Inten Lanjar Kamulyan.
“Jadi untuk perbedaan gaya parenting, sebenarnya bisa kita cegah jauh-jauh hari dengan menetapkan batasan,’ kata Inten.
Kemudian, batasan-batasan itu perlu dikomunikasikan dengan mbah yang mengasuh agar kedua belah pihak saling memahami.
Melia Istighfaroh juga menerapkan saran ini dalam pola asuhnya.
Dia tetap menjalin komunikasi yang sehat dengan mertuanya mengenai pola asuh anak.
Meski tak selalu selaras dalam gaya asuh, dia meyakini mertuanya tetap melakukan yang terbaik untuk buah hatinya. Di sisi lain, Melia juga meyakini bahwa mertuanya pun mengerti bahwa apa yang ia lakukan juga demi menjadi seorang ibu yang baik untuk si kecil.
“Intinya saling maklum sih. Karena pasti setiap orang punya pegangan dan prinsip berbeda, apalagi tentang parenting dan ngurus anak. Tapi ya, kita gini aja lah, saling memahaminya aja,” pungkasnya.
(TribunNetwork/Ahmad Nur Rosikin)