TRIBUNHEALTH.COM - Tahun ini jumlah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh tercatat memecahkan rekor.
Menghimpun informasi yang didapat, dari data Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) telah tercatat pengungsi Rohingya yang melarikan diri dengan melintasi Laut Andaman dengan perahu sejumlah 3.722 orang hingga bulan November 2023.
Dari tahun 2022 lalu, jumlah tersebut mengalami kenaikan.
Melansir Serambinews.com, UNHCR telah menghitung sebanyak 3.705 orang Rohingya melakukan perjalanan laut sepanjang tahun 2022, yang merupakan jumlah terbanyak sejak tahun 2015.
Hampir 1 juta etnis Rohingya, minoritas Muslim dari Myanmar, sekarang tinggal di kamp-kamp pengungsi yang luas di Bangladesh Timur.
Baca juga: Makanan Tinggi Gula Mempengaruhi Adanya Double Chin? Ini Kata dr. Caryn
Sebagian besar dari mereka itu ladi dari Myanmar pada tahun 2017 karena terjadi yang disebut PBB sebagai genosida oleh militer Myanmar.
Mereka melarikan diri dari kamp dengan perahu dan mencoba untuk menyeberangi Laut Andaman dan menuju Malaysia atau Indonesia, kedua negara tersebut merupakan negara mayoritas Muslim.
Ratusan orang tewas ketika mencoba berlayar dengan kapal yang penuh, sesak dan juga tidak layak.
“Saya yakin akan ada lebih banyak orang dalam perjalanan, tapi (jumlah) angka pastinya tidak tahu berapa,” kata Chris Lewa dari Arakan Project, sebuah kelompok yang memantau dengan cermat kapal-kapal tersebut, dikutip dari VOA.
“Saya memperkirakan akan ada lebih banyak lagi yang akan datang,” ujar Usman Hamid, direktur Amnesty International untuk Indonesia.
Kelompok bantuan dan advokasi, serta para pengungsi tersebut, menganggap peningkatan jumlah disebabkan oleh kondisi yang makin memburuk di kamp-kamp Bangladesh.

Baca juga: Tabel Cicilan KUR BRI Terbaru Periode Desember 2023 Limit Pinjaman hingga Rp 100 Juta, Ini Syaratnya
Dengan kondisi yang semakin memburuk, maka harapan warga Rohingya bisa kembali dengan selamat ke Myanmar dalam waktu dekat memudar.
Myanmar menolak kewarganegaraan Rohingya dan memicu perang saudara seluruh negeri akibat kudeta mliter tahun 2021 lalu.
Semenatra itu, di kamp-kam yang tertutup di wilayah timur Bangladesh, para pengungsi mengeluh dengan meningkatnya kekerasan geng, kurangnya lapangan pekerjaan dan jyga sekolah, serta jatah makanan yang terbatas.
Mengutip dari Serambinews.com, Program Pangan Dunia PBB, sumber utama bantuan pangan bagi para pengungsi, memotong nilai uang bulanan di kamp-kamp pada Juni 2023, untuk kedua kalinya tahun ini, menjadi rata-rata USD 8 per orang atau Rp124 ribu.
Badan tersebut menyalahkan kurangnya dukungan para donatur.
“Semua hal ini mendorong orang-orang Rohingya untuk melakukan perjalanan laut yang berbahaya,” kata Mohammed Rezuwan Khan, seorang pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp.
Baca juga: Orgasme Berulang pada Wanita Terjadi Sebelum Pria Ejakulasi atau Sesudah Ejakulasi?
Dia mengatakan bahwa saudara perempuan dan keponakannya melarikan diri dari kamp dengan perahu tahun lalu, menuju Indonesia, dan mereka semua tahu risikonya.
“Tetapi ketika orang-orang tidak punya pilihan lain, ketika orang tidak dapat melakukan perjalanan dengan paspor seperti orang-orang lain di dunia,”
“ketika orang-orang tidak memiliki harapan untuk kembali ke Myanmar dalam waktu dekat dalam beberapa tahun mendatang,”
“ketika orang-orang mengalami banyak penderitaan di kamp pengungsian, maka perjalanan tersebut menjadi pilihan terakhir dan tidak dapat dibatalkan,” kata Khan.
“Ini seperti melempar koin. Kami akan bertahan atau kami akan mati” ujarnya.
Kondisi di darat maupun di laut juga mengibah penumpang dan tujuan berhentinya kapal.
Di tahun-tahun sebelumnya, perahu-perahu itu kebanyakan mengangkut laki-laki dan perempuan, kini banyak keluarga yang bepergian bersama serta membawa anak-anak.
Baca juga: TIBA-TIBA KAYA! Pegawai Toko Hoki dapat Rp 31 Miliar, Ingin Pulang Kampung Setelah 20 Tahun Kerja
Menurut angka UNHCR, 1 dari 5 penumpang kapal pada tahun 2022 merupakan anak-anank, namun, sepanjang tahun ini hampir sepertiganya.
Jubir (juru bicara) UNHCR, Babar Baloch dan Chris Lewa dari Arakan Project, mengatakan bahwa hal itu merupakan akibat dari meningkatnya keputusaasaan di kamp pengungsian.
“Karena mereka tidak melihat masa depan (keluarga) mereka di kamp – pelanggaran hukum, ketidakamanan, kurangnya pendidikan,” kata Lewa.
“Tetapi di antara berbagai alasan orang meninggalkan kamp, kami mendengar alasan nomor satu adalah pengurangan makanan,” paparnya.
Menurut data UNCHR, sekitar 60 perseb kapal yang bernagkat ke Indonesia dibandingkan tahun 2022 yang hanya 22 persen.
Lewa dan Baloch menyampaikan hal ini karena pada dasarnya saat ini hanya negara di sepanjang rute perjalanan mereka yang masih bersedia menerima pengungsi Rohingya.
Walaupun begitu, hal tersebut mungkin mulai berubah.
Baca juga: Lowongan Kerja RANS Entertainment Bulan Desember 2023 di Jakarta, Cek Posisi dan Persyaratannya
Salah satu perahu yang mencapat daratan Aceh bulan lalu, dilaporkan didorong kembali ke laut sebanyak dua kali, sebelum akhirnya mendarat saat percobaan ketiga.
Hamid dan Amnesty International, menyalahkan perubahan sikap ini lantaran kegagalan pemerintah pusat dalam mengantisipasi hal ini dan membantu pemerintah daerah Aceh dalam mentiapkan diri untuk enghadapi masuknya pengungsi.
Ia mengatakan, penuntutan terhadap beberapa penduduk setempat sebagai penyelundup manusia lantaran pernah membantu pengungsi di darat di masa lalu dan juga berperan dalam hal ini.
Walaupun begitu, ia dan yang lain menyampaikan bahwa masyarakat pesisir bagian barat Aceh sebagian besar telah mengakomodasi para pengungsi sebaik mungkin.
UNHCR menghitung sebanyak 348 orang tewas atau hilang di antara mereka yang berangkat pada tahun 2022 lalu dan ada 225 orang di tahun ini.
“Tahun lalu kami melihat konsekuensi dari tidak adanya pelabuhan atau tempat yang aman untuk turun kapal,” kata Baloch.
“Orang-orang ini berisiko kehilangan nyawa mereka,” pungkasnya.
(TribunHealth.com) (Serambinews.com/Agus Ramadhan)