TRIBUNHEALTH.COM - Berbagai negara Uni Eropa sempat mengehntikan rencana penggunaan vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Indonesia pun sempat menunda distribusi vaksin AstraZeneca.
Hal itu dilakukan sebagai tindakan pencegahan, setelah munculnya laporan kelainan pembekuan darah pada orang yang telah menerima vaksin.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru melihat kejadian ini sebagai suatu tanda yang baik.
Pasalnya, munculnya isu ini merupakan indikasi berjalannya sistem pengawasan dan kontrol terhadap upaya vaksinasi Covid-19.
Dengan demikian, dapat diketahui berbagai efek samping setelah vaksinasi, sehingga mendorong penyelidikan lanjutan.
Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada 17 Maret 2021, WHO mengatakan telah menghubungi Badan Obat di Eropa dan seluruh dunia untuk mendapatkan informasi terkait keamanan vaksin Covid-19.
Baca juga: Vaksin Covid-19 AstraZeneca Resmi Mendapatkan Izin dari BPOM dan MUI
Baca juga: Sederet Fakta dan Mitos Covid-19, Suhu Panas Tak Bisa Cegah Virus Corona

Termasuk vaksin AstraZeneca yang juga diawasi dengan cermat.
Terlepas dari temuan penggumpalan darah ini, WHO yakin manfaat AstraZeneca lebih besar dari pada risikonya.
Karenanya, mereka mantap merekomendasikan agar tetap melanjutkan vaksinasi.
Indonesia sendiri sudah memberi lampu hijau untuk vaksin ini.
BPOM dan MUI sudah resmi memberikan izin.
Kini pemerintah mulai mendistribusikan vaksin AstraZeneca pada Sabtu (20/3/2021).
Q&A tentang Vaksin AstraZeneca

Siapa yang harus divaksinasi dulu?
Meskipun persediaan vaksin terbatas, direkomendasikan agar prioritas diberikan kepada petugas kesehatan yang berisiko tinggi terpajan dan orang lanjut usia, termasuk mereka yang berusia 65 atau lebih.
Negara dapat mengacu pada Peta Jalan Prioritas WHO dan Kerangka Nilai WHO sebagai pedoman untuk memprioritaskan kelompok sasaran.
Siapa lagi yang bisa menerima vaksin?
Vaksinasi direkomendasikan untuk orang dengan penyakit penyerta yang telah diidentifikasi meningkatkan risiko COVID-19 yang parah, termasuk obesitas, penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, dan diabetes.
Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk orang yang hidup dengan HIV atau kondisi auto-imun atau yang immunocompromised, orang dalam kategori ini yang merupakan bagian dari kelompok yang direkomendasikan untuk vaksinasi dapat divaksinasi setelah menerima informasi dan konseling.
Vaksinasi dapat ditawarkan kepada orang yang pernah menderita COVID-19 sebelumnya.
Tetapi mungkin mereka akan menunda vaksinasi COVID-19 mereka sendiri hingga enam bulan sejak infeksi SARS-CoV-2, untuk memungkinkan orang lain yang mungkin mendahulukan orang lain yang lebih membutuhkan vaksin.
Vaksinasi dapat ditawarkan kepada wanita menyusui jika mereka adalah bagian dari kelompok yang diprioritaskan untuk vaksinasi.
WHO tidak merekomendasikan penghentian menyusui setelah vaksinasi.
Baca juga: Mengenal Istilah Mutasi, Varian dan Strain Virus Covid-19, Ini Hal yang Perlu Diketahui
Baca juga: Berikut Ini Gejala Covid-19, Selalu Terapkan Protokol Kesehatan Agar Tak Mudah Tertular

Haruskah wanita hamil divaksinasi?
Meskipun kehamilan membuat wanita berisiko lebih tinggi terkena COVID-19 parah, sangat sedikit data yang tersedia untuk menilai keamanan vaksin selama kehamilan.
Wanita hamil dapat menerima vaksin jika manfaat vaksinasi wanita hamil lebih besar daripada potensi risikonya.
Untuk alasan ini, wanita hamil yang berisiko tinggi terpapar SARS-CoV-2 (mis. Petugas kesehatan) atau yang memiliki penyakit penyerta yang menambah risiko penyakit parah, dapat divaksinasi dengan berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan mereka.
Untuk siapa vaksin tidak direkomendasikan?
Orang dengan riwayat reaksi alergi parah terhadap komponen vaksin apa pun sebaiknya tidak meminumnya.
Vaksin ini tidak direkomendasikan untuk orang yang berusia di bawah 18 tahun sambil menunggu hasil penelitian lebih lanjut.
Berapa dosis yang dianjurkan?
Dosis yang dianjurkan adalah dua dosis yang diberikan secara intramuskular (masing-masing 0,5ml) dengan selang waktu 8 sampai 12 minggu.
Penelitian tambahan diperlukan untuk memahami perlindungan potensial jangka panjang setelah dosis tunggal.
(TribunHealth.com/Ahmad Nur Rosikin)