Kedua, sirkulasi atau regenerasi kepemimpinan akan lama. Ini sangat mungkin terjadi karena dengan revisi tersebut akan memperkecil kesempatan untuk lahirnya kades lain yang berkualitas, berinovasi, dan bermutu dalam waktu dekat.
Sebelum revisi, dalam kurun 18 tahun kemungkinan ada 3 atau 2 kades akan muncul. Setelah revisi, dalam kurun waktu yang sama hanya ada 2 atau 1 kades.
Ketiga, bahaya lainnya adalah akan memunculkan kultus individu. Karena masa jabatannya yang lama dan berkuasa, maka akan memunculkan perilaku “raja-raja kecil” serta kelompok pemujanya. Relasi “patron/bos-anak buah” secara alamiah akan terbentuk di level desa.
Sebagai penguasa tunggal di desa, tindak-tanduk kades (yang buruk sekalipun) akan cenderung mendapat dukungan dan simpati oleh kelompok pemujanya. Berlawanan dan berbeda pandangan siap-siap disingkirkan.
Pembentukan kelompok pemuja dan relasi kuasa yang tidak sehat tak terhindarkan, sebab kades sebagai jabatan, memiliki fungsi sebagai sumber daya.
Baca juga: PPDB Jakarta 2023 Tahap Kedua untuk SMP, SMA dan SMK Resmi Dibuka Mulai 6-8 Juli, Ini Linknya
Warga akan cenderung permisif dengan mereka yang dianggap sebagai “sumber hidup”. Relasi saling menguntungkan akan terbangun, meskipun secara demokratis tidak sehat, hanya demi untuk mengamankan kepentingannya masing-masing.
Apabila sudah begini, bahaya keempat tidak akan terelakkan: pemerintahan desa yang otoriter—berkuasa sendiri dan potensi sewenang-wenang. Sikap kritis sangat mungkin dibungkam dalam keadaan seperti ini.
Kades yang diktator dan bangunan oligarki di desa pun akan lahir.
Dampak memperpanjang masa jabatan
Dapat kita bayangkan, masa jabatan kades yang lama ini akan memengaruhi jalannya pemerintahan desa ke depan: menjadi sarat politis.
Sebagai pemegang simpul terdekat dengan warga, kades bisa memanfaatkannya untuk bertransaksi dan bargain dengan partai politik dalam momen pemilu. Konkretnya yang sering terjadi adalah mobilisasi warga.
Selain itu, lamanya masa jabatan juga sedikit-banyak akan memengaruhi kinerja pemerintah desa. Perangkat desa potensi tidak bekerja efektif dan efisien. Leha-leha pada program karena beranggapan masih banyak waktu dengan masa jabatan yang lama.
Buang-buang dan main-main/penyalahgunaan anggaran adalah hal yang patut diwaspadai ke depan. Apalagi menjelang pemilu serentak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data yang mengkhawatirkan mengenai korupsi di tingkat desa.
Dilansir dari antikorupsi.org (Januari, 2023) korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindaklanjuti: sepanjang 2015–2021 ada 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Praktik yang berpotensi korup ini akan lebih bahaya jika tanpa pengontrolan ketat dan dibarengi dengan masa jabatan yang lama.
Selain itu, usulan APDESI ini tidak bisa kita simplifikasi. Lantaran, APDESI yang sama juga sebelumnya mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode. Ada korelasi atau tidak dengan masa politik mendatang, kita perlu waspada untuk itu.
Baca juga: Pengabdian untuk Tingkatkan Pengetahuan Tenaga Medis & Masyarakat Agar Berhenti Merokok oleh FK UNS
Tukar guling dengan berbagai kepentingan bersifat dinamis dalam politik dan sangat mungkin terjadi.
Perpendek atau batasi masa jabatan
Berkaca pada itu, mestinya tiga tahun untuk masa jabatan kades lebih dari cukup, atau maksimal lima tahun per periode. Pembatasan masa jabatan kades adalah solusi.