TRIBUNHEALTH.COM - Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kemenkes RI, Dr. dr. Vivi Setiawaty, M.Biomed, mengatakan vaksinasi masih efektif untuk menangkal varian baru Covid-19.
Penjelasan tersebut dia paparkan ketika menjadi narasumber dalam program Ayo Sehat Kompas TV.
Kini Kemenkes pun masih terus melaukan pemantauan varian baru yang muncul di Indonesia.
Dengan demikian, berbagai kemungkinan yang ada bisa diantisipasi.
Dalam forum yang sama, Dr. dr. Vivi Setiawaty, M.Biomed menjelaskan ke depan tetap ada kemungkinan virus corona bermutasi lagi.
Pasalnya mutasi merupakan sifat alami dari virus.
Baca juga: Meski Varian Baru Covid Bermunculan, Dr. dr. Vivi Setiawaty, M.Biomed Tegaskan Tes PCR Masih Efektif
Baca juga: Jubir Satgas Covid-19 Ungkap Vaksinasi dapat Menekan Peluang Terpapar Covid-19 Varian Baru
"Mutasi itu adalah suatu sifat alami yang dari virus itu sendiri. Jadi virus itu sendiri memiliki sifat untuk terus bermutasi untuk mempertahankan kelangsungan daripada virusnya," penjelasannya, dikutip TribunHealth.com.
"Jadi virus itu ada yang bisa bermutasi jadi lebih baik ataupun lebih melemahkan ataupun menjadi lebih ganas lagi itulah yang harus kita pahami."
Berita Serupa: Penelitian Johnson & Johnson tentang efektivitas vaksin
Terkait efektivitas vaksin menghadapi virus corona varian baru, perusahaan Johnson & Johnson telah melakukan uji coba.
Mereka melaporkan vaksin yang mereka produksi efektif melawan viros corona varian delta.
Laporan itu mereka umumkan pada Kamis (1/7/2021), sebagaimana diberitakan TribunHealth.com dari The New York Times.
Baca juga: Dokter Reisa Sebut Tenaga Kesehatan Perlu Diberi Booster Vaksin karena Peningkatan Kasus Covid-19
Baca juga: Hasil Penelitian Terbaru: Vaksin Campuran Efektif Bentuk Antibodi terhadap Covid-19
Dari penelitian yang mereka lakukan, memang vaksin Johnson & Johnson mengalami penurunan potensi terhadap varian delta, dibanding dengan efektivitasnya terhadap virus asli.
Tetapi vaksin itu masih lebih efektif melawan varian Delta daripada varian Beta, yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan.
Pola yang sama juga terlihat pada vaksin mRNA.
Para peneliti juga melaporkan, antibodi yang terbentuk vaksin Johnson & Johnson terus tumbuh dari waktu ke waktu.
Perusahaan mempublikasikan penelitian ini lebih cepat, mengingat ada kekurangan informasi di masyarakat.
Warga AS ragu dan mempertanyakan efektivitas vaksin Johnson & Johnson, dibanding vaksin lainnya.
Satu di antara yang menimbulkan tanda tanya adalah pemberiannya yang hanya satu dosis.
“Hal yang tidak pernah saya pahami sepenuhnya tentang J.&J. adalah bahwa platform teknologi mereka pada dasarnya sangat, sangat mirip — hampir tidak dapat dibedakan dari AstraZeneca,” kata Imunologis Imperial College London, Dr. Danny Altmann.
Baca juga: 4 Program Gerakan Indonesia Pasti Bisa yang Didukung Menkes, dari Vaksinasi hingga Program Sembako
"Haruskah itu benar-benar vaksin dua dosis seperti yang lainnya?"
Di sisi lain, pemberian dosis tunggal memberi keuntungan bagi pihak yang memiliki akses terbatas.
Kendati demikian, munculnya varian baru seperti beta dan delta memunculkan keraguan di masyarakat.
Satu dosis vaksin AstraZeneca jauh kurang efektif terhadap varian baru dari pada dua dosis, dan para ahli khawatir vaksin Johnson & Johnson mungkin serupa.
Hal ini kemudian memunculkan diskusi mengenai booster, atau dosis tambahan.
Studi baru membahas beberapa kekhawatiran tersebut.
Para peneliti melacak respon imun pada sukarelawan 29 dan 239 hari setelah inokulasi pertama.
Sepuluh dari peserta penelitian hanya menerima satu dosis Johnson & Johnson.
Baca juga: Kedatangan Vaksin Sinopharm Menambah Jenis Vaksin, Indonesia Diharap Segera Mencapai Herd Immunity
Sementara 10 lainnya mendapat dosis kedua Johnson & Johnson atau vaksin mRNA.
Sementara tingkat antibodi darah yang dihasilkan setelah imunisasi dengan Pfizer-BioNTech atau Moderna turun setelah lonjakan awal, antibodi — dan sel kekebalan — dirangsang oleh vaksin Johnson & Johnson bertahan pada tingkat tinggi.
Penelitian lain, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa respon imun yang dihasilkan oleh vaksin mRNA juga cenderung bertahan selama bertahun-tahun.
Dosis kedua Johnson & Johnson meningkatkan tingkat antibodi masih lebih tinggi.
Penguat mRNA meningkatkannya lebih jauh, meskipun jumlah di setiap kelompok terlalu kecil untuk signifikan secara statistik.
Delapan bulan setelah inokulasi Johnson & Johnson, antibodi peserta juga tampak lebih efektif melawan varian dari pada tanda satu bulan.
Satu peserta yang mendapat dosis tunggal terinfeksi virus corona.
Kurangnya informasi tentang respon imun terhadap vaksin Johnson & Johnson telah membuat banyak orang berspekulasi bahwa mereka mungkin memerlukan suntikan kedua, dosis vaksin mRNA.
Tetapi temuan baru menunjukkan bahwa setidaknya untuk saat ini, orang yang menerima vaksin Johnson & Johnson tidak membutuhkan booster.
Baca berita lain tentang Covid-19 dan vaksinasi di sini.
(TribunHealth.com/Ahmad Nur Rosikin)
Baca tanpa iklan