Mungkinkah Depresi Terjadi Akibat Faktor Genetik? Mayor Kes dr. Hary Purwono Sp.KJ Jelaskan Ini

Penulis: Putri Pramestianggraini
Editor: Melia Istighfaroh
Ilustrasi ciri-ciri orang depresi

TRIBUNHEALTH.COM - Banyak faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan seseorang mengalami kondisi depresi. 

Misalnya seperti beban kerja lebih berat dari biasanya, ekonomi yang sulit dan faktor-faktor sosial. 

Konflik internal pribadi dengn oranglain, keluarga maupun perasaan bersalah yang tidak beralasan. 

Selain faktor-faktor tersebut, mungkinkah gangguan depresi ini terjadi karena adanya faktor genetik? 

Dokter spesialis kedokteran jiwa, Mayor Kes dr. Hary Purwono menyampaikan tanggapannya di YouTube TribunHealth.com mengenai faktor pemicu depresi. 

Tentunya banyak masyarakat awam yang ingin mengetahui apakah depresi bisa terjadi karena faktor genetik. 

ilustrasi seseorang yang mengalami depresi (lifestyle.kompas.com)

Baca juga: 5 Tanda Kuku Menggambarkan Kesehatan, Coba Cek Kuku Anda

Mayor Kes dr. Hary menjelaskan, depresi secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni mayor depression disorder (gangguan depresi mayor) dan gangguan depresi bipolar. 

"Kalau faktor genetik, sebenarnya kita mungkin sering mendengar tentang gangguan bipolar. Jadi begini, kalau kita bicara depresi secara garis besar itu dibagi menjadi dua. Ada yang namanya mayor depression disorder atau gangguan depresi mayor, ada yang namanya gangguan depresi bipolar," ujar Mayor Kes dr. Hary. 

Ia menjelaskan, depresi mayor dan depresi bipolar, sebenarnya adalah dua hal yang berbeda secara signifikan, baik gejala maupun perjalanannya kadang juga berbeda. 

"Jadi depresi mayor dan depresi bipolar ini sebenarnya dua hal yang berbeda secara signifikan. Secara gejala dan perjalanannya kadang juga berbeda," 

Berbicara mengenai risiko genetik, kata Mayir Kes dr. Hary lebih mengarah ke gangguan depresi bipolar. 

Baca juga: 9 Manfaat Konsumsi Jagung untuk Kesehatan, Memiliki Indeks Glikemik Rendah hingga Sedang

Di mana prosentasi angka kejadian cenderung rentan pada orang yang memiliki risiko genetik dengan gangguan bipolar. 

Kata Mayor Kes dr. Hary, bipolar tak hanya berupa kondisi depresu, bisa juga ke arah kondisi manik ataupun hipomanik. 

"Kalau seandainya kita berbicara tentang kondisi risiko genetik, itu sebenarnya lebih ke arah gangguan depresi bipolar. Di mana memang prosentase angka kejadiannya itu cenderung lebih rentan pada orang yang memiliki risiko genetik dengan gangguan afektif bipolar," lanjutnya. 

"Nah, kalau kita bicara bipolar, tidak hanya kondisi depresi, juga mungkin bisa ke arah kondisi manik ataupun hipomanik," 

Dokter spesialis kedokteran jiwa Mayor Kes dr. Hari menegaskan, depresi yang sampai menyakiti diri sendiri atau berpikir tentang kematian, umumnya terjadi pada gangguan depresi bipolar. 

Hal tersebut bisa terjadi dalam waktu yang cukup cepat, proses perjalanan penyakitnya juga cukup cepat, bahkan gejala cepat timbul tanpa adanya stresor yang signifikan atau berat. 

ilustrasi seseorang yang mengalami bipolar (freepik.com)

Baca juga: Apa Perbedaan Turun Peranakan dan Hernia, Obgyn Jelaskan Ini

Bisa saja orang dengan kondisi tersebut memutuskan untuk mengakhiri hidup atau melakukan percobaan bunuh diri. 

"Kondisi depresi yang sampai menyakiti diri sendiri ataupun bisa mencapai berpikir tentang kematian, itu adalah umumnya terjadi pada gangguan depresi yang bipolar. Jadi bisa dalam waktu yang cukup cepat, proses perjalanan penyakitnya juga cukup cepat, gejalanya cepat sekali timbul tanpa ada stresor mungkin yang signifikan atau yang sangat berat. Dia tiba-tiba dapat memutuskan untuk mengakhiri hidup, percobaan bunuh diri. Jadi seperti itu." tandas Mayor Kes. dr. Hary . 

Ini disampaikan pada channel YouTube TribunHealth.com bersama dengan Mayor Kes dr. Hary Purwono, Sp.KJ. Seorang dokter spesialis kedokteran jiwa dari RSAU dr. Siswanto Lanud Adi Soemarmo. 

(TribunHealth.com/PP)