Penelitian modern membuktikan, kematian, retardasi mental, dan cacat bawaan pada anak yang dilahirkan sebagai hasil hubungan inses sangat tinggi.
Bentuk umum yang sering terjadi adalah hubungan inses antara kakak laki-laki dan adik perempuan yang antara lain dipicu rendahnya kualitas tatanan moral dalam keluarga.
Atau eksperimen seksual yang karena kebutuhan pemenuhan rasa ingin tahu tentang seks dan seksualitas di antara saudara sekandung berlawanan jenis, dalam kisaran usia remaja mula.
Kondisi sosial ekonomi yang rendah pun membuat keluarga mengalami keterbatasan kamar tidur sehingga memaksa mereka harus berbagi kamar dengan saudara sekandung berlawanan jenis.
Kondisi tersebut akan membuka peluang terjadinya hubungan inses.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah bila terjadi pengalaman inses, konsekuensi traumatis justru akan lebih dialami remaja perempuan yang terlibat yang di kemudian hari berkembang menjadi rasa salah berkepanjangan pada diri mereka. (*)
Mereka kemungkinan besar akan memiliki sikap negatif terhadap seksualitas yang pasti merugikan kesejahteraan mental mereka di kemudian hari. Andaikan akhirnya mereka bisa toleran terhadap perasaan bersalah, tetapi cepat atau lambat mereka akan mengetahui perilaku inses sangat dilarang oleh lingkungan masyarakat mereka.
Baca juga: Tak Hanya Menyerang Usus, Cacingan Bisa Mengakibatkan Komplikasi pada Organ Lainnya
Pemahaman tersebut tentu saja akan memicu perkembangan perasaan rendah diri berkepanjangan pula. Apalagi bila kemudian mereka menyadari selaput daranya sudah tidak utuh oleh hubungan inses tersebut.
Praktik inses memiliki konsekuensi yang serius dan kompleks, baik dari segi etika, moral, psikologis, maupun genetik. Secara genetik, perkawinan dalam keluarga yang memiliki ikatan darah dekat dapat meningkatkan risiko kelainan genetik dan cacat bawaan pada keturunan.
Curhat Korban
Curahan hati korban hubungan sedarah (inses), E (26) yang melahirkan 7 anak dari ayah kandungnya terungkap.
E terpaksa harus melayani nafsu bejat ayahnya, Rudi (57), karena di bawah ancaman senjata tajam.
Bahkan saat melakukan perbuatan itu pun, E tak bisa menikmatinya.
Piskolog UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Pemkab Banyumas, Rahmawati Wulansari mengatakan, awalnya E sempat diancam menggunakan golok saat menolak berhubungan dengan ayahnya.
"Memang benar ada ancaman ketika (ayahnya) mengajak dan ditolak. Dia bilangnya 'dipapag ngangge bendo' (dihalangi dengan golok). Sehingga mau tidak mau melakukan dengan ayah kandung," kata Rahmawati saat pers rilis di Mapolresta Banyumas, Selasa (27/6/2023).
Rahmawati mengatakan, kondisi psikologis E saat kali pertama melakukan itu dengan ayahnya pasti terganggu.
Apalagi saat itu E masih di bawah umur.
Baca juga: Gadis SMA Jadi Ibu di Usia 18 Tahun, Dinikahi Artis 16 Tahun Lebih Tua & Lanjut Sekolah Usai Cuti
"Kalau melihat kondisi kejiwaannya pada 2013 tentu saya bisa membayangkan betapa dia sangat tertekan. Itu sangat mengagetkan, pertama kali melakukan dan kebetulan ayah sendiri," ujar Rahmawati.
Namun E tidak punya pilihan lain, termasuk ibunya karena sama-sama mendapat ancaman hingga melahirkan anak pertama pada tahun 2013.
Hubungan dan ancaman itu juga terus berulang hingga melahirkan anak ke tujuh pada 2021 lalu.