"Sampai saat ini, tidak ada dokumen yang mendukung bahwa saya dimutasi ini karena memang ada permintaan atau sesuai kebutuhan dari RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor."
Bahkan pihak RS tak pernah mendapatkan informasi mengenai mutasi drg. Ivo Syayadi ke RS tersebut.
"Jika alasan karena kebutuhan organisasi, saat saya melaporkan kepindahan saya ke RS Jiwa Marzoeki Mahdi, pihak RS sendiri ternyata tidak pernah mendapatkan informasi sebelumnya tentang mutasi saya."
"Hal ini kemudian diperkuat dengan tidak adanya sarana dan prasarana yang akan mendukung kinerja saya saat ditempatkan di Instalasi Promosi Kesehatan RS (PKRS). Faktanya, memang tidak ada formasi kebutuhan untuk peta jabatan fungsional penyuluh kesehatan masyarakat ahli muda di Instalasi PKRS tersebut," papar drg. Ivo.
Berharap Majelis Hakim Memutus Perkara dengan Adil
Dalam ruang sidang, drg. Ivo Syayadi menegaskan harapannya agar tak ada lagi korban kasus serupa.
"Saya ingin menyampaikan bahwa saya melakukan ini dengan harapan saya menjadi korban terakhir. Bisa jadi besok-besok ibu, bapak, istri bapak, suami ibu, anak bapak/ibu, juga mengalami hal seperti saya yang dimutasi mendadak dan itu sangat tidak enak," katanya.
Dirinya juga berharap agar majelis hakim dapat memutus perkara ini dengan seadil-adilnya.
"Saya yakin ibu saksi ahli sudah membantu kami sesuai dengan kompetensi ibu, teman-teman tim kuasa hukum juga sudah membantu kami sesuai dengan kompetensi dan menjalankan tugas sesuai dengan arahan pimpinan."
"Dan karena kita ada perbedaan sudut pandang, kita berada dalam ruang sidang ini."
"Terima kasih yang mulia, saya hanya bisa pasrah, saya menyerahkan kepada majelis hakim untuk mengadili atau memutuskan seadil-adilnya. Terima kasih," pungkas drg. Ivo Syayadi.
Artikel ini merupakan update dari kasus ASN gugat Menteri Kesehatan ke PTUN.
Kronologi dan latar belakang kasus dapat dibaca dalam artikel "Dimutasi Tanpa Prosedur yang Jelas, drg. Ivo Syayadi Gugat Menteri Kesehatan ke PTUN"
(TribunHealth.com/Ahmad Nur Rosikin)