TRIBUNHEALTH.COM - Kemajuan teknologi rekayasa genetik mencapai puncaknya setelah ditemukan teknologi peng-edit-an DNA melalui teknologi CRISPR (interspaced short palindromic repeat).
Demikian pula aplikasi pemanfaatan gen vektor virus yang bisa diaplikan langsung ke tubuh pasien (in vivo), atau sel yang diambil dari pasien yang dimodifikasi di laboratorium (ex vivo) dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh.
Perkembangan teknologi pengeditan DNA telah memicu kegembiraan atas terapi genetik dan merupakan area perkembangan yang sangat penting.
Ada Tiga teknologi pengeditan gen utama dikelompokkan secara berurutan; “interspaced short palindromic repeat (CRISPR), Cas-associated nucleases, programmable nucleases”, seperti: zinc-finger nucleases (ZFNs) dan transcription activator-like effector nucleases (TALENs).
Aplikasi klinis pertama adalah CRISPR/Cas9 digunakan untuk seseorang dengan mutasi pada gen CEP290 yang menyebabkan degenerasi retina.
Uji klinis juga sedang dilakukan untuk mengevaluasi pendekatan terapeutik ini untuk pengobatan kanker dan penyakit sel sabit.
Demikian pula studi pertama CRISPR/Cas9 sebagai terapi potensial untuk CF menggunakan knock-in spesifik lokasi dari urutan CFTR yang benar untuk mengembalikan fungsi CFTR dengan kekuatan terdapat dalam organoid sel induk usus manusia yang berasal dari pasien homozigot untuk mutasi.
Bahkan tim peneliti dan penemu CRISPR/Cas9 telah dinobatkan sebagai penerima penghargaan prestisius Nobel Prize kepada Jennifer Doudna & Emmanuelle Charpentier, dari Universitas California, Berkeley pada tahun 2020.
Baca juga: Prinsip Dasar Farmakologi Sel dan Genetik
Efektivitas CAR-T Cell pada Glioblastoma
Glioblastoma merupakan penyakit kanker pada manusia yang paling mematikan, dengan tingkat harapan hidup yang sangat rendah, meskipun telah dilakukan operasi, pengobatan radiasi, dan kemoterapi.
Pengobatan tumor otak Glioblastoma selama ini mengalami kesulitan dan keterbatasan karena beberapa mekanisme resistensi: kertebatasan masuknya obat ke dalam kompartemen sistem saraf pusat oleh penghalang sawar darah-otak; penangkal obat untuk sampai ke sasaran tumor; heterogenitas yang luas pada glioblastoma berkontribusi terhadap resistensi terapeutik yang signifikan dengan mencegah kontrol yang memadai dari seluruh massa tumor, dengan obat tunggal dan dengan memfasilitasi mekanisme pelepasan dari agen yang ditargetkan.
Karakteristik glioblastoma yang mirip sel punca meningkatkan resistensi terhadap kemoterapi, radiasi, dan imunoterapi melalui peningkatan regulasi transporter akhir, promosi proliferasi sel punca glioblastoma, dan penekanan immunologik.
Bahkan teknik molekuler sedang dikembangkan untuk menargetkan tumor secara spesifik, sehingga akan meningkatkan efektivitas atau kemanjuran pengobatan dan kesembuhan penderita glioblastoma.
Dengan menggunakan teknologi berbasis farmakologi sel dan genetik, berupa onko immune vaksinomik, menjadi solusi yang terbaik.
Berdasarkan hasil uji klinis, fase 1, 2, 3 dari metode dendritic vaccine ditemukan hasil yang menakjubkan, sebagai berikut:
Dalam GBM, makrofag terkait tumor (TAM), sel penekan turunan myeloid (MDSC), dan sel T regulator (Treg) membentuk lingkungan mikro tumor imunosupresif yang kuat (TME), yang menghambat imunitas antitumor dan dengan demikian mengganggu dendritik vaksinasi sel (DCV).
Selain mekanisme pelepasan imun intrinsik dari sel tumor, molekul pos pemeriksaan imun, seperti PD-L1, PD-L2, Tim-3, Lag-3, CD155, dan galektin-9 yang biasanya mengontrol tingkat respons imun, diekspresikan pada sel imunosupresif TME, berkontribusi terhadap disfungsi sel-T dan selanjutnya respon imun antitumor yang tidak efisien.
Sel TME mengeluarkan sitokin seperti TGF-b, IL-10, dan IL-35 dan kemokin CCL20, CCL22, dan CXCL12, yang menghambat proliferasi dan fungsi sel-T dan berkontribusi pada crosstalk antara berbagai jenis sel TME, sehingga semakin meningkatkan imunosupresi.
Mekanisme tambahan meliputi aktivitas indoleamin-2,3-dioksigenase (IDO) dan arginase-1 serta produksi oksigen reaktif spesies (ROS) dan oksida nitrat (NO), semuanya mengganggu diferensiasi, ekspansi, dan fungsi sel T efektor yang tepat.
UJI KLINIS FASE I/II: Pada uji klinis fase I/II dari tim kami di Aivita Biomedical California, dengan menggunakan metode multi-center, yang bertujuan untuk melihat tingkat kelangsungan hidup pasien Glioblastoma, dengan masa penilaian 15 bulan setelah pendaftaran penggunaan Vaksin Dendritik dibangdingkan dengan standard.