TRIBUNHEALTH.COM - Kekerasan dalam hubungan ataupun rumah tangga sudah bukan hal yang asing didengar.
Terkadang korban dan pelaku kekerasan tidak menyadari apabila tindakan tersebut sudah memasuki ranah kekerasan.
Jika suatu hubungan atau rumah tangga sudah menandakan adanya kekerasan, berarti hubungan dan rumah tangga tersebut tidak sehat atau disebut dengan Toxic.
Dalam hubungan suami istri atau rumah tangga, terdapat banyak hal yang akhirnya korban merasa bahwa "jika mengalami hal seperti ini, baik-baik saja atau tidak? atau hanya lebai saja".
Alasan paling klise dan utama yaitu biasanya adalah anak.

Baca juga: Meskipun Berbasic Minyak, Nyatanya Face Oil Bermanfaat untuk Tetap Minghidrasi Kulit
Banyak korban yang memiliki pemikiran "jika keluar dari hubungan ini, nanti anak akan bagaimana?" selain itu terdapat beberapa korban yang berpikir "jika saya tidak memiliki suami/istri bagaimana kata orang?"
Pendapat orang atau pendapat lingkungan tentang status pernikahan sangat mempengaruhi.
Prita Pratiwi, S.Psi menyampaikan bahwa status janda tidak mudah dipegang oleh seorang perempuan.
Diketahui selama ini masih banyak masyarakat yang berpikir "karena status janda, maka sangat wajar jika mengalami suatu masalah".
Baca juga: Jangan Salah, Ternyata Kulit Keriput dan Kulit Kendur Adalah Dua Hal yang Berbeda
Oleh karena itu, status janda dianggap sebagai status yang negatif, padahal tidak seperti itu.
Terdapat berbagai hal dan alasan yang pada akhirnya seorang perempuan menyandang status tersebut.
Terkadang kekhawatiran-kekhawatiran itulah yang membuat wanita rela bertahan dalam rumah tanga yang tidak sehat demi hubungan yang dianggap lebih baik dibandingan hubungan ketika terjadi suatu perceraian.
Gagal dalam berumah tangga dan bercerai, stigma masyarakat yang menganggap bahwa janda ataupun duda adalah seorang yang bermasalah tentu akan mengganggu psikologis seseorang.
Baca juga: Ketahui Beberapa Penyebab Umum dari Gangguan Saluran Cerna Bawah, Ini Kata Dokter
Selain itu terdapat beberapa ibu rumah tangga yang memiliki pemikiran "nanti anak saya mau makan apa, sekolahnya bagaimana, bisa mendapat uang atau biaya hidup darimana", ketika sudah lagi tidak memiliki pasangan tidak ada tempat untuk berbagi cerita.
Prita Pratiwi, S.Psi menyampaikan bahwa pemikiran tersebut malah semakin memperkeruh perasaan.
Akhirnya seseorang ini menjadi bingung masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu dan mana yang menjadi tujuan hidupnya.
Sehingga seseorang dengan pemikiran tersebut seperti menerima semua perlakukan yang diberikan oleh lingkungan.
Ini disampaikan pada channel YouTube Tribun Jabar bersama dengan Prita Pratiwi, S.Psi., M.Psi. Seorang psikolog.
(TribunHealth.com/Putri Pramesti Anggraini)