TRIBUNHEALTH.COM - Akhir-akhir ini, istilah fatherless jadi topik hangat di media sosial yang menyita perhatian publik.
Istilah tersebut mencuat usai hasil penelitian mengungkap bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan fatherless tertinggi di dunia.
Fatherless merupakan kondisi anak yang tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan sosok ayah, baik secara fisik hingga emosional.
Ketidakhadiran ayah dalam kehidupan anak berdampak besar pada perkembangan emosional mereka.
Anak-anak yang fatherless rentan mengalami gangguan kecemasan, depresi, serta kesulitan dalam mengelola emosi dan perilaku.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai dampak fatherless pada psikologis anak, kita bisa bertanya langsung dengan psikolog berkompeten seperti Adib Setiawan S.Psi., M.Psi.
Baca juga: Kenali 9 Gejala Stunting pada Anak yang Wajib Diwaspadai Orangtua
Pertanyaan:
Pak Adib, adakah pesan terkait fatherless bagi psikologis anak?
Bayu, di Sukoharjo
Adib Setiawan S.Psi., M.Psi menjawab:
Kondisi mengenai orangtua kita kan, tentunya kita tidak bisa memilih.
Ketika sistem patriarki ada di seluruh Indonesia, tentunya pilihan terbaik memang menerima keadaan.
Namun tidak ada salahnya kita berusaha berpikir, berusaha membandingkan kondisi ayah kita dengan ayah-ayah yang lain.
Kalaupun ada kekurangannya, kita berusaha menerima.
Yang terpenting adalah ya kita harus bangkit, jangan sampai kekurangan-kekurangan yang kita miliki, tentang orangtua, membuat kita terlalu menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orangtua, menyalahkan oranglain, namun kita tidak berusaha bangkit untuk masa depan.
Baca juga: Bagaimana Cara Menyembuhkan Mental Anak yang Mengalami Fatherless Pak Adib?
Karena yang kita ketahui bahwa masa depan diri kita terletak pada diri kita sendiri.
Oleh sebab itu, apapun kondisi keluarga yang dimiliki, kita berusaha untuk terus memperbaiki diri, perbanyak belajar, perbanyak berteman, berinteraksi sosial, berlatih empati, mengendalikan emosi, menghargai oranglain, berlatih berpikir dan menyelesaikan masalah.
Tentunya, jika sudah terus berlatih seperti itu, nanti kita akan jadi manusia yang dewasa.
Ketika diri kita menjadi manusia yang dewasa, tentu bisa melakukan kritik terhadap ayah kita, jika ayah kita fatherless.
Artinya, ketika ayah tidak mendidik dengan baik, bisa kita kritik, sehingga muncul diskusi-diskusi yang sifatnya sehat dan untuk perbaikan ke depannya.