Trend dan Viral

Dijatah Makan Rp 124 Ribu Per Hari, Rohingnya Kabur dari Kamp Pengungsi Bangladesh, Ini Alasannya

Penulis: Putri Pramestia
Editor: Putri Pramestia
imigran Rohingya

“ketika orang-orang mengalami banyak penderitaan di kamp pengungsian, maka perjalanan tersebut menjadi pilihan terakhir dan tidak dapat dibatalkan,” kata Khan.

“Ini seperti melempar koin. Kami akan bertahan atau kami akan mati” ujarnya.

Kondisi di darat maupun di laut juga mengibah penumpang dan tujuan berhentinya kapal.

Di tahun-tahun sebelumnya, perahu-perahu itu kebanyakan mengangkut laki-laki dan perempuan, kini banyak keluarga yang bepergian bersama serta membawa anak-anak.

Baca juga: TIBA-TIBA KAYA! Pegawai Toko Hoki dapat Rp 31 Miliar, Ingin Pulang Kampung Setelah 20 Tahun Kerja

Menurut angka UNHCR, 1 dari 5 penumpang kapal pada tahun 2022 merupakan anak-anank, namun, sepanjang tahun ini hampir sepertiganya.

Jubir (juru bicara) UNHCR, Babar Baloch dan Chris Lewa dari Arakan Project, mengatakan bahwa hal itu merupakan akibat dari meningkatnya keputusaasaan di kamp pengungsian.

“Karena mereka tidak melihat masa depan (keluarga) mereka di kamp – pelanggaran hukum, ketidakamanan, kurangnya pendidikan,” kata Lewa.

“Tetapi di antara berbagai alasan orang meninggalkan kamp, ​​kami mendengar alasan nomor satu adalah pengurangan makanan,” paparnya.

Menurut data UNCHR, sekitar 60 perseb kapal yang bernagkat ke Indonesia dibandingkan tahun 2022 yang hanya 22 persen.

Lewa dan Baloch menyampaikan hal ini karena pada dasarnya saat ini hanya negara di sepanjang rute perjalanan mereka yang masih bersedia menerima pengungsi Rohingya.

Walaupun begitu, hal tersebut mungkin mulai berubah.

Baca juga: Lowongan Kerja RANS Entertainment Bulan Desember 2023 di Jakarta, Cek Posisi dan Persyaratannya

Salah satu perahu yang mencapat daratan Aceh bulan lalu, dilaporkan didorong kembali ke laut sebanyak dua kali, sebelum akhirnya mendarat saat percobaan ketiga.

Hamid dan Amnesty International, menyalahkan perubahan sikap ini lantaran kegagalan pemerintah pusat dalam mengantisipasi hal ini dan membantu pemerintah daerah Aceh dalam mentiapkan diri untuk enghadapi masuknya pengungsi.

Ia mengatakan, penuntutan terhadap beberapa penduduk setempat sebagai penyelundup manusia lantaran pernah membantu pengungsi di darat di masa lalu dan juga berperan dalam hal ini.

Walaupun begitu, ia dan yang lain menyampaikan bahwa masyarakat pesisir bagian barat Aceh sebagian besar telah mengakomodasi para pengungsi sebaik mungkin.

UNHCR menghitung sebanyak 348 orang tewas atau hilang di antara mereka yang berangkat pada tahun 2022 lalu dan ada 225 orang di tahun ini.

“Tahun lalu kami melihat konsekuensi dari tidak adanya pelabuhan atau tempat yang aman untuk turun kapal,” kata Baloch.

“Orang-orang ini berisiko kehilangan nyawa mereka,” pungkasnya.

(TribunHealth.com) (Serambinews.com/Agus Ramadhan)