Pasalnya, inkubator bayi serta mesin dialisis untuk cuci darah sangat bergantung pada aliran listrik.
Artinya, cepat atau lambat krisis bahan bakar akan merenggut nyawa para bayi yang mengandalkan inkubator untuk menunjang hidup.
Begitu pula para pejuang gagal ginjal yang mulai cemas mengenai jatah cuci darah mereka.
Terlebih lagi RS Al Aqsa adalah satu-satunya fasilitas untuk pasien ginjal di wilayah tengah Jalur Gaza.
“Jika listrik dan air padam dan bahan bakar habis, pasien akan dipindahkan ke kuburan massal jika agresi terus berlanjut,” al-Dakran memperingatkan.
“Dan dunia [hanya] menyaksikan,” lanjutnya dengan getir.
RS Batasi Durasi Cuci Darah
Rumah sakit tersebut mengalami lonjakan jumlah pasien sejak eskalasi baru-baru ini, dengan ribuan orang yang terluka berdatangan dan membebani kapasitas rumah sakit.
Selain itu, ketika ribuan pengungsi dari wilayah utara Gaza bermigrasi ke selatan, jumlah pasien meningkat, terutama mereka yang menderita penyakit kronis yang memerlukan pengobatan, seperti cuci darah untuk penyakit ginjal.
Rumah sakit harus membatasi waktu perawatan dialisis dari empat jam menjadi dua setengah jam, dan juga harus mengurangi frekuensi sesi dialisis pasien per minggu, kata al-Dakran.
Para pasien ketakutan, tidak hanya karena bom yang turun, tapi juga apakah mereka akan menerima perawatan yang mereka perlukan.
Baca juga: Lirik dan Terjemahan Lagu Gaza Tonight We Will Not Go Down, Dukungan untuk Palestina
“Saya menjalani cuci darah tiga kali seminggu, menunggu berjam-jam di jalan yang padat, ketakutan,” kata Maryam al-Jayar, seorang pengungsi, kepada Sanad.
“Kami menunggu lama, dari pagi hingga malam, untuk cuci darah. Sementara pemboman terus berlanjut," kata Nesma Sharir, seorang pasien ginjal lainnya.
"Sekarang cuci darah saya menjadi lebih pendek dan lebih jarang, ditambah lagi dengan kekurangan air dan listrik, proses dialisis itu sendiri tidak berjalan dengan baik dan dapat menyebabkan pembekuan darah."
(TribunHealth.com/Ahmad Nur Rosikin)